PNS DALAM DERITA POLITIK
Apa
sesungguhnya yang dicari oleh seorang PNS? Refleksi mendalam untuk
menjawab secuil pertanyaan ini. Antara jabatan, kekuasaan, karier
membuat banyak yang terlibat mulai dari proses PILKADA hingga Posisi
jabatan. Itulah topik yang menjadi pokok bahasan dalam sebuah diskusi
kecil di sebuah warung kopi yang mayoritas pesertanya berstatus PNS.
Setiap
kali akan diselenggarakan pemilu, baru muncul imbauan dari Pemerintah
yang meminta agar para gubernur dan bupati/walikota memantau anak
buahnya untuk tetap netral. Harapan tersebut tidak lebih seperti ‘jeruk
makan jeruk’ karena pada saat pilkada, para calon incumbent sangat
berkepentingan terhadap PNS untuk mendulang suara. Dalam kedudukannya
sebagai aparatur pemerintah, para PNS dapat diajak ikut kunjungan kerja,
sosialisasi, atau kegiatan lainnya yang bertujuan ’’memasarkan’’ calon
incumbent yang notabene sebagai atasannya.
Dalam kedudukannya sebagai masyarakat, mulut PNS dianggap lebih ampuh dalam menggiring suara rakyat. Sebab, para PNS dianggap lebih banyak tahu tentang kebaikan maupun keburukan para calon incumbent dibanding tim sukses yang non-PNS. Meski teori tersebut tidak sepenuhnya benar, banyak pengamat politik dan lembaga survei yang menyatakan bahwa kemenangan para calon incumbent lebih banyak dibantu peran PNS yang dibawahinya. Terutama dalam membangun citra positif di tengah masyarakat. Bila demikian halnya, sungguh PNS sedang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit dan serbasalah, lalu ironis dan menyedihkan.
Dalam kedudukannya sebagai masyarakat, mulut PNS dianggap lebih ampuh dalam menggiring suara rakyat. Sebab, para PNS dianggap lebih banyak tahu tentang kebaikan maupun keburukan para calon incumbent dibanding tim sukses yang non-PNS. Meski teori tersebut tidak sepenuhnya benar, banyak pengamat politik dan lembaga survei yang menyatakan bahwa kemenangan para calon incumbent lebih banyak dibantu peran PNS yang dibawahinya. Terutama dalam membangun citra positif di tengah masyarakat. Bila demikian halnya, sungguh PNS sedang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit dan serbasalah, lalu ironis dan menyedihkan.
Keterlibatan
PNS baik secara individu maupun institusional dalam kancah politik
praktis, dikhawatirkan akan ada tumpang tindih peran, sehingga terjadi
konflik kepentingan (conflic of interest) yang bisa merusak tatanan bernegara;
Pertama,
PNS yang berpolitik membuat mereka berada dalam situasi dilematis.
Karena PNS bukan saja menjadi pelayan masyarakat tapi juga sekaligus
aktor politik. Akibatnya PNS tidak lagi obyektif dalam memberikan
pelayanan. Secara kelembagaan, kemungkinan birokrasi akan terpolarisasi
kedalam berbagai perpecahan berdasarkan kekuatan dan kepentingan
politik. Semakin banyak elite birokrat ikut bertarung di kancah politik,
semakin besar kemungkinan perpecahan birokrasi pemerintahan. Karena
setiap calon akan membangun kekuatan, termasuk di internal birokrasi,
akibatnya timbul faksi-faksi meskipun bersifat tersembunyi.
Kedua,
Potret PNS Indonesia selama 32 tahun sebagai pendukung bagi kejayaan
partai politik yang berkuasa telah menimbulkan hancurnya tatanan politik
yang demokratis. Karena keberpihakan PNS pada salah satu partai politik
telah merusak kompetisi antar partai. Padahal, setiap partai politik
maupun kandidat yang bersaing sudah sepantasnya mempunyai kesempatan
yang sama untuk memenangkan suara.
Ketiga,
kemungkinan penyalahgunaan kewenangan karena jabatannya, seperti
kampanye terselubung yang dikemas dengan rapat dinas, penggunaan
anggaran dan fasilitas negara seperti mobil dinas, rumah dinas serta
kantor pemerintah dan kelengkapannya bagi parpol atau kandidat tertentu,
atau pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas
negara.
Kasak-kusuk
keterlibatan PNS yang ikut bermain dalam kegiatan politik praktis
adalah oknum yang melibatkan diri pada penyusunan strategi pemenangan
pilkada dengan menjadi tim sukses terselubung. Ada pula yang menjadi
pengumpul suara dengan memobilisasi dukungan suara secara tidak
terang-terangan melainkan menggunakan jalur pendekatan kekerabatan (extended family)
untuk mendukung salah satu kandidat. Rumor lainnya, dengan persuasi
ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat. Fenomena ini
disinyalir karena adanya intrik kepentingan untuk bisa mendongkrak
posisinya, atau setidaknya mengamankan posisinya. Oknum PNS seperti ini
bila kandidat yang didukung menang pilkada, tak segan-segan “menggusur”
posisi birokrat yang netral (non-partisan). Sinyalemen yang susah
dibuktikan meskipun sangat kuat terasa baunya. Politik transaksional
membuat pemimpin terpilih akan disuguhi buah simalakama jika menggunakan
jasa birokrat; antara kesulitan “membagi” kue eselon, karena oknum
birokrat yang merasa berjasa akan menuntut imbalan, pada saat yang sama
PNS yang meniti kariernya secara alamiah juga tak kalah banyak. Padahal
jika dicermati, PNS yang terlibat politik akan berhadapan pada dua
kemungkinan; jika calonnya menang (the winner) adalah karirnya meningkat. Sebaliknya, jika calonnya kalah (the loser) kemungkinan karirnya akan lebih buruk, karena akan dianggap sebagai orang yang berseberangan dengan pemimpinnya.
Ketidaknetralan PNS bukan sepenuhnya pilihan mereka, namun terlebih karena kondisi yang terbentuk dari sistem birokrasi.
Pertama,
penjenjangan karir PNS yang diharapkan bersaing secara profesional,
akan tetapi ada kalanya karir PNS ikut ditentukan oleh pejabat pembina
PNS, seperti gubernur, bupati atau walikota. Tidak berlebihan momentum
pilkada bagi PNS bisa dimanfaatkan sebagai sebuah spekulasi politik
untuk mengubah nasib, atau sebuah manuver untuk mencari ”point” guna
mendapatkan ”jatah” jabatan dengan memberikan dukungan politik kepada
kontestan pilkada yang punya kans menang.
Kedua,
adanya partai politik yang tidak mengusung kadernya sendiri untuk
menjadi calon kepala daerah, tetapi “menjual” parpolnya sebagai
kendaraan politik bagi siapa pun yang memiliki modal finansial cukup
tinggi, meskipun bukan kader patai, termasuk PNS. Dengan asumsi calon
dari kalangan birokrat atau kandidat pejabat lama (incumbent),
memiliki tingkat popularitas tinggi, dan jaringan lebih kuat dibanding
bukan pejabat, paling tidak di lingkup PNS. Jajaran birokrat juga
memiliki kecenderungan mendukung kolega mereka sebagai bentuk
solidaritas korps. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik
rawan PNS tidak netral.
Salah
satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya yang
ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada
wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan
tugas kenegaraan. Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah
secara tetap dan dijamin kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya
berada dalam sistem administrasi ke tata negaraan belaka. Pengabdian
yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada parpol atau golongan
tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Menahan diri
untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir
secara alamiah, membuat PNS tidak lagi dihantui rasa was-was dalam
meniti karier dan tidak terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada
sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam
birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan
variabel-variabel objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar
urut kepangkatan (DUK) serta jejak rekam karier seorang birokrat.
Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun seirama naik
turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya.
Persoalan sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan
bukan di dasarkan pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa atas dasar kedekatan.
Siapa
pun yang memimpin negeri ini, reformasi birokrasi harus jadi prioritas
program kerjanya. Sayangnya, tidak semua kepala daerah paham yang
dimaksud reformasi birokrasi, sehingga banyak yang mengartikan bahwa
mengganti para pejabat sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Dalam
kenyataannya justru reformasi birokrasi telah terabaikan. Pola pemilihan
atau pengangkatan pejabat karir tidak lagi merujuk kepada aspek
profesional, melainkan suka atau tidak suka bahkan bercampur intervensi
politik. Padahal jika ingin pemerintahan berjalan dengan baik, orang
yang dipercaya untuk memegang birokrasi haruslah orang profesional,
cerdas, memiliki mindset yang tepat, dan tak berorientasi pada
kekuasaan. Jujur, diakui, mismatch yang terjadi kini terlalu besar,
terutama di tingkatan pemerintah daerah akibat adanya like and dislike.
Ada sarjana hukum mengurusi teknis konstruksi, sarjana pemerintahan
mengurusi teknis pendidikan, dan sebagainya.
Seekor serigala akan nampak hebat dan perkasa manakala ia di kawasan hutan belantara. Jika ia harus hidup di gurun pasir, meski di sana disiapkan hewan buruan yang bisa dimangsa, pasti tidak akan sehebat dan seperkasa di hutan. Kenyataannya memang demikian. Banyak pejabat setingkat eselon II yang tidak mampu menjabarkan visi dan misi kepala daerahnya di tingkatan praksis. Akibatnya banyak persoalan yang muncul sebagai dampak dari ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik ke publik. Upaya menciptakan good governance yang selalu dikumandangkan sejak era reformasi baru sebatas retorika.
Tingginya intervensi politik dalam birokrasi ini telah menyebabkan gangguan pada kinerjanya sendiri. Harus dipahami, reformasi birokrasi bukan sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Tapi juga harus mencakup perubahan sistem politik, hukum, sikap mental, budaya birokrat, masyarakat, serta perubahan pola pikir dan komitmen. Mengawali masa jabatannya untuk kali kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad untuk melancarkan reformasi birokrasi pada seluruh kementerian dan lembaga. Agenda reformasi ini akan diselesaikan pada 2011. Penegasan SBY itu tak lepas dari buruknya situasi birokrasi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah.
Memang, pada titik inilah seharusnya reformasi birokrasi digerakkan jika hasil yang diharapkan adalah suatu pemerintahan yang baik. Hal terpenting adalah agar pola pemilihan atau pengangkatan pejabat pemerintah harus diubah dengan merujuk kepada aspek profesional kemudian lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang merugikan PNS. Dengan kata lain, promosi atau pengangkatan pejabat harus dikembalikan ke track-nya yang benar, terbebas dari sekadar suka atau tidak suka, namun harus benar-benar yang pintar dan menguasai di bidangnya. Apabila selama ini sudah terasa ada kontaminasi, harus dikembalikan. Perlu adanya kerangka hukum dan aturan serta prosedur tata kelola yang menjadi pegangan dalam proses reformasi birokrasi.
Pembenahan birokrasi juga menyangkut restrukturisasi agar lebih efisien, termasuk cara kerja, disiplin, perilaku yang lebih terbuka, dan bertanggung jawab. Penataan kembali berarti mengubah watak. Jika sebelumnya sebagai perintang, ke depan diharapkan beralih sebagai pelayan untuk publik. Paling tidak reformasi birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan, dan SDM aparatur. Untuk mendapatkan SDM aparatur yang handal dan profesional misalnya, perlu dirumuskan strategi pengolahan yang tepat dan terarah, penyusunan penilaian kinerja, pengembangan sistem rekrutmen, pengembangan pola diklat, penguatan pola rotasi, mutasi, promosi, pola karir, dan pola peningkatan kesejahteraan. Fungsi-fungsi manajemen SDM itu harus terintegrasi satu dengan yang lain dan dilaksanakan dengan semangat reformasi birokrasi. Yakni peningkatan kinerja aparatur pemerintah dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Seekor serigala akan nampak hebat dan perkasa manakala ia di kawasan hutan belantara. Jika ia harus hidup di gurun pasir, meski di sana disiapkan hewan buruan yang bisa dimangsa, pasti tidak akan sehebat dan seperkasa di hutan. Kenyataannya memang demikian. Banyak pejabat setingkat eselon II yang tidak mampu menjabarkan visi dan misi kepala daerahnya di tingkatan praksis. Akibatnya banyak persoalan yang muncul sebagai dampak dari ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik ke publik. Upaya menciptakan good governance yang selalu dikumandangkan sejak era reformasi baru sebatas retorika.
Tingginya intervensi politik dalam birokrasi ini telah menyebabkan gangguan pada kinerjanya sendiri. Harus dipahami, reformasi birokrasi bukan sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Tapi juga harus mencakup perubahan sistem politik, hukum, sikap mental, budaya birokrat, masyarakat, serta perubahan pola pikir dan komitmen. Mengawali masa jabatannya untuk kali kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad untuk melancarkan reformasi birokrasi pada seluruh kementerian dan lembaga. Agenda reformasi ini akan diselesaikan pada 2011. Penegasan SBY itu tak lepas dari buruknya situasi birokrasi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah.
Memang, pada titik inilah seharusnya reformasi birokrasi digerakkan jika hasil yang diharapkan adalah suatu pemerintahan yang baik. Hal terpenting adalah agar pola pemilihan atau pengangkatan pejabat pemerintah harus diubah dengan merujuk kepada aspek profesional kemudian lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang merugikan PNS. Dengan kata lain, promosi atau pengangkatan pejabat harus dikembalikan ke track-nya yang benar, terbebas dari sekadar suka atau tidak suka, namun harus benar-benar yang pintar dan menguasai di bidangnya. Apabila selama ini sudah terasa ada kontaminasi, harus dikembalikan. Perlu adanya kerangka hukum dan aturan serta prosedur tata kelola yang menjadi pegangan dalam proses reformasi birokrasi.
Pembenahan birokrasi juga menyangkut restrukturisasi agar lebih efisien, termasuk cara kerja, disiplin, perilaku yang lebih terbuka, dan bertanggung jawab. Penataan kembali berarti mengubah watak. Jika sebelumnya sebagai perintang, ke depan diharapkan beralih sebagai pelayan untuk publik. Paling tidak reformasi birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan, dan SDM aparatur. Untuk mendapatkan SDM aparatur yang handal dan profesional misalnya, perlu dirumuskan strategi pengolahan yang tepat dan terarah, penyusunan penilaian kinerja, pengembangan sistem rekrutmen, pengembangan pola diklat, penguatan pola rotasi, mutasi, promosi, pola karir, dan pola peningkatan kesejahteraan. Fungsi-fungsi manajemen SDM itu harus terintegrasi satu dengan yang lain dan dilaksanakan dengan semangat reformasi birokrasi. Yakni peningkatan kinerja aparatur pemerintah dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
1 komentar:
demen...
Posting Komentar