Pages

Selasa, 15 Oktober 2013

ANTARA PNS DAN POLITIK BAGAI BUAH SIMALAKAMA

PNS DALAM DERITA POLITIK


Apa sesungguhnya yang dicari oleh seorang PNS? Refleksi mendalam untuk menjawab secuil pertanyaan ini. Antara jabatan, kekuasaan, karier membuat banyak yang terlibat mulai dari proses PILKADA hingga Posisi jabatan. Itulah topik yang menjadi pokok bahasan dalam sebuah diskusi kecil di sebuah warung kopi yang mayoritas pesertanya berstatus PNS.
Setiap kali akan diselenggarakan pemilu, baru muncul imbauan dari Pemerintah yang meminta agar para gubernur dan bupati/walikota memantau anak buahnya untuk tetap netral. Harapan tersebut tidak lebih seperti ‘jeruk makan jeruk’ karena pada saat pilkada, para calon incumbent sangat berkepentingan terhadap PNS untuk mendulang suara. Dalam kedudukannya sebagai aparatur pemerintah, para PNS dapat diajak ikut kunjungan kerja, sosialisasi, atau kegiatan lainnya yang bertujuan ’’memasarkan’’ calon incumbent yang notabene sebagai atasannya.
Dalam kedudukannya sebagai masyarakat, mulut PNS dianggap lebih ampuh dalam menggiring suara rakyat. Sebab, para PNS dianggap lebih banyak tahu tentang kebaikan maupun keburukan para calon incumbent dibanding tim sukses yang non-PNS. Meski teori tersebut tidak sepenuhnya benar, banyak pengamat politik dan lembaga survei yang menyatakan bahwa kemenangan para calon incumbent lebih banyak dibantu peran PNS yang dibawahinya. Terutama dalam membangun citra positif di tengah masyarakat. Bila demikian halnya, sungguh PNS sedang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit dan serbasalah, lalu ironis dan menyedihkan.
Keterlibatan PNS baik secara individu maupun institusional dalam kancah politik praktis, dikhawatirkan akan ada tumpang tindih peran, sehingga terjadi konflik kepentingan  (conflic of interest) yang bisa merusak tatanan bernegara;
Pertama, PNS yang berpolitik membuat mereka berada dalam situasi dilematis. Karena PNS bukan saja menjadi pelayan masyarakat tapi juga sekaligus aktor politik. Akibatnya PNS tidak lagi obyektif dalam memberikan pelayanan. Secara kelembagaan,  kemungkinan birokrasi akan terpolarisasi kedalam berbagai perpecahan berdasarkan kekuatan dan kepentingan politik. Semakin banyak elite birokrat ikut bertarung di kancah politik, semakin besar kemungkinan perpecahan birokrasi pemerintahan. Karena setiap calon akan membangun kekuatan, termasuk di internal birokrasi, akibatnya timbul faksi-faksi meskipun bersifat tersembunyi.
Kedua,  Potret PNS Indonesia selama 32 tahun sebagai pendukung bagi kejayaan partai politik yang berkuasa telah menimbulkan hancurnya tatanan politik yang demokratis. Karena keberpihakan PNS pada salah satu partai politik telah merusak kompetisi antar partai. Padahal, setiap partai politik maupun  kandidat yang bersaing sudah sepantasnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan suara.
Ketiga, kemungkinan penyalahgunaan kewenangan karena jabatannya, seperti kampanye terselubung yang dikemas dengan rapat dinas, penggunaan anggaran dan fasilitas negara  seperti mobil dinas, rumah dinas serta kantor pemerintah dan kelengkapannya bagi parpol atau kandidat tertentu, atau pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.
Kasak-kusuk keterlibatan PNS yang ikut bermain dalam kegiatan politik praktis adalah oknum yang melibatkan diri pada penyusunan strategi pemenangan pilkada dengan menjadi tim sukses terselubung. Ada pula yang menjadi pengumpul suara dengan memobilisasi dukungan suara secara tidak terang-terangan melainkan menggunakan jalur pendekatan kekerabatan (extended family) untuk mendukung salah satu kandidat. Rumor lainnya, dengan persuasi ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat. Fenomena ini disinyalir karena adanya intrik kepentingan untuk bisa mendongkrak posisinya, atau setidaknya mengamankan posisinya. Oknum PNS seperti ini bila kandidat yang didukung menang pilkada, tak segan-segan “menggusur” posisi birokrat yang netral (non-partisan). Sinyalemen yang susah dibuktikan meskipun sangat kuat terasa baunya. Politik transaksional membuat pemimpin terpilih akan disuguhi buah simalakama jika menggunakan jasa birokrat; antara kesulitan “membagi” kue eselon, karena oknum birokrat yang merasa berjasa akan menuntut imbalan, pada saat yang sama PNS yang meniti kariernya secara alamiah juga tak kalah banyak. Padahal jika dicermati, PNS yang terlibat politik akan berhadapan pada dua kemungkinan;  jika calonnya menang (the winner) adalah karirnya meningkat. Sebaliknya, jika calonnya kalah (the loser) kemungkinan karirnya akan lebih buruk, karena akan dianggap sebagai orang yang berseberangan dengan pemimpinnya.
Ketidaknetralan PNS bukan sepenuhnya pilihan mereka, namun terlebih karena kondisi yang terbentuk dari sistem birokrasi.
Pertama, penjenjangan karir PNS yang diharapkan bersaing secara profesional, akan tetapi ada kalanya karir PNS ikut ditentukan oleh pejabat pembina PNS, seperti gubernur, bupati atau walikota. Tidak berlebihan momentum pilkada bagi PNS bisa dimanfaatkan sebagai sebuah spekulasi politik untuk mengubah nasib, atau sebuah manuver untuk mencari ”point” guna mendapatkan ”jatah” jabatan dengan memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada yang punya kans menang.
Kedua, adanya partai politik yang  tidak mengusung kadernya sendiri untuk menjadi calon kepala daerah, tetapi “menjual” parpolnya sebagai kendaraan politik bagi siapa pun yang memiliki modal finansial cukup tinggi, meskipun bukan kader patai, termasuk PNS. Dengan asumsi calon dari kalangan birokrat atau kandidat pejabat lama (incumbent), memiliki tingkat popularitas tinggi, dan jaringan lebih kuat dibanding bukan pejabat, paling tidak di lingkup PNS. Jajaran birokrat juga memiliki kecenderungan mendukung kolega mereka sebagai bentuk solidaritas korps. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral.
Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas kenegaraan. Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah secara tetap dan dijamin kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada dalam sistem administrasi ke tata negaraan belaka.  Pengabdian yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada parpol atau golongan tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara alamiah, membuat PNS  tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan variabel-variabel objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar urut kepangkatan (DUK) serta jejak rekam karier seorang birokrat. Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun seirama naik turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persoalan sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan bukan di dasarkan pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa  atas dasar kedekatan.
Siapa pun yang memimpin negeri ini, reformasi birokrasi harus jadi prioritas program kerjanya. Sayangnya, tidak semua kepala daerah paham yang dimaksud reformasi birokrasi, sehingga banyak yang mengartikan bahwa mengganti para pejabat sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Dalam kenyataannya justru reformasi birokrasi telah terabaikan. Pola pemilihan atau pengangkatan pejabat karir tidak lagi merujuk kepada aspek profesional, melainkan suka atau tidak suka bahkan bercampur intervensi politik. Padahal jika ingin pemerintahan berjalan dengan baik, orang yang dipercaya untuk memegang birokrasi haruslah orang profesional, cerdas, memiliki mindset yang tepat, dan tak berorientasi pada kekuasaan. Jujur, diakui, mismatch yang terjadi kini terlalu besar, terutama di tingkatan pemerintah daerah akibat adanya like and dislike. Ada sarjana hukum mengurusi teknis konstruksi, sarjana pemerintahan mengurusi teknis pendidikan, dan sebagainya.
Seekor serigala akan nampak hebat dan perkasa manakala ia di kawasan hutan belantara. Jika ia harus hidup di gurun pasir, meski di sana disiapkan hewan buruan yang bisa dimangsa, pasti tidak akan sehebat dan seperkasa di hutan. Kenyataannya memang demikian. Banyak pejabat setingkat eselon II yang tidak mampu menjabarkan visi dan misi kepala daerahnya di tingkatan praksis. Akibatnya banyak persoalan yang muncul sebagai dampak dari ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik ke publik. Upaya menciptakan good governance yang selalu dikumandangkan sejak era reformasi baru sebatas retorika.
Tingginya intervensi politik dalam birokrasi ini telah menyebabkan gangguan pada kinerjanya sendiri. Harus dipahami, reformasi birokrasi bukan sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi. Tapi juga harus mencakup perubahan sistem politik, hukum, sikap mental, budaya birokrat, masyarakat, serta perubahan pola pikir dan komitmen. Mengawali masa jabatannya untuk kali kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad untuk melancarkan reformasi birokrasi pada seluruh kementerian dan lembaga. Agenda reformasi ini akan diselesaikan pada 2011. Penegasan SBY itu tak lepas dari buruknya situasi birokrasi pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah.

Memang, pada titik inilah seharusnya reformasi birokrasi digerakkan jika hasil yang diharapkan adalah suatu pemerintahan yang baik. Hal terpenting adalah agar pola pemilihan atau pengangkatan pejabat pemerintah harus diubah dengan merujuk kepada aspek profesional kemudian lepas dari belenggu patrimonial kekuasaan yang merugikan PNS. Dengan kata lain, promosi atau pengangkatan pejabat harus dikembalikan ke track-nya yang benar, terbebas dari sekadar suka atau tidak suka, namun harus benar-benar yang pintar dan menguasai di bidangnya. Apabila selama ini sudah terasa ada kontaminasi, harus dikembalikan. Perlu adanya kerangka hukum dan aturan serta prosedur tata kelola yang menjadi pegangan dalam proses reformasi birokrasi.

Pembenahan birokrasi juga menyangkut restrukturisasi agar lebih efisien, termasuk cara kerja, disiplin, perilaku yang lebih terbuka, dan bertanggung jawab. Penataan kembali berarti mengubah watak. Jika sebelumnya sebagai perintang, ke depan diharapkan beralih sebagai pelayan untuk publik. Paling tidak reformasi birokrasi mencakup tiga aspek besar, yakni organisasi, ketatalaksanaan, dan SDM aparatur. Untuk mendapatkan SDM aparatur yang handal dan profesional misalnya, perlu dirumuskan strategi pengolahan yang tepat dan terarah, penyusunan penilaian kinerja, pengembangan sistem rekrutmen, pengembangan pola diklat, penguatan pola rotasi, mutasi, promosi, pola karir, dan pola peningkatan kesejahteraan. Fungsi-fungsi manajemen SDM itu harus terintegrasi satu dengan yang lain dan dilaksanakan dengan semangat reformasi birokrasi. Yakni peningkatan kinerja aparatur pemerintah dan peningkatan kualitas pelayanan publik.