“Hampir
lima juta balita di Indonesia menderita kekurangan gizi dan 1,8 juta
yang kurang gizi tersebut bersifat irreversible. Salah satu gejala dari
kekurangan gizi yang irreversible itu adalah perkembangan otak balita
yang lambat. Akhirnya, jangan heran kalau banyak anak-anak yang imbisil dan debil (bodoh) di negeri ini.”
Sungguh
sangat miris mendengar kenyataan tersebut. Mengingat negara kita
Indonesia adalah negara kaya dengan hasil yang alamnya melimpah.
Indonesia adalah negara agraris, tapi lebih dari 37 persen anak
Indonesia usia 0-5 tahun (balita) kekurangan gizi yang ditandai dengan
bentuk fisik stunted atau tinggi badan tidak sesuai dengan umur.
Mungkin
Indonesia bisa berbangga hati dengan prestasi-prestasi yang diraih anak
negeri ini dibidang olimpiade sains tingkat internasional ataupun
penghargaan-penghargaan dibidang lainnya. Akan tetapi negara kita
seharusnya malu dengan predikat sebagai negara yang memiliki urutan ke 5
dengan balita yang terhambat pertumbuhannya.
Pepatah mengatakan, apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Kalimat
tersebut mengajarkan kita pada kiasan hidup tantang segala perbuatan
akan memberikan dampak di masa akan datang. Begitu pula dengan dampak
dari gizi buruk merupakan sebuah kegagalan tindakan dalam upaya
peningkatan mutu sumber daya manusia generasi bangsa yang lebih baik di
masa akan datang.
Dalam
ilmu kesehatan masyarakat penyebab langsung gizi buruk atau yang lebih
dikenal dengan malnutrisi ini adalah ketidak seimbangan antara asupan
makanan. Kekurangan antara asupan makanan membuat daya tahan tubuh
sangat lemah, memudahkan terkena penyakit infeksi karena iklim tropis,
sanitasi lingkungan buruk, sehingga menjadi kurang gizi. Kondisi ini
berlangsung secara gradual dan terus berlanjut dalam konsistensi waktu
yang cukup lama.
Jika
status gizi tidak diperbaiki, sel-sel otak tidak bisa berkembang dan
sulit dipulihkan. Perkembangan jaringan otak dengan stimulasi mencapai
80 persen pada usia 0-3 tahun. Pada usia 10 tahun perkembangan jaringan
otak yang sehat disertai stimulasi akan mencapai 90 persen. Tanpa
stimulasi perkembangan jaringan otak akan jauh di bawah persentase
tersebut.
Hal
inilah yang disebut sebagai kerusakan yang irreversible (permanen) yang
akhirnya menjadikan seorang anak itu imbisil ampak gizi buruk yang
bersifat permanen sangat dimungkinkan terjadi pada anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan. Kekurangan gizi pada masa ini, terlebih masa
golden period (0-3 tahun), tidak hanya menyebabkan terjadinya gangguan
perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan mental dan intelektual sang
anak akan mengalami gangguan serius. Efeknya terlihat dari rendahnya
tingkat kecerdasan, rentan terhadap penyakit, gangguan dalam pemusatan
perhatian, lambatnya perkembangan kemampuan kognitif, dan berbagai
gangguan lain yang berdampak pada rendahnya kualitas manusia secara
umum.
Kondisi
ini menunjukkan bahwa masa depan bangsa ini masih dalam kondisi
terancam kehilangan generasi yang berkualitas. Generasi yang tumbuh dan
berkembang dalam kondisi kurang gizi atau gizi buruk akan sulit bersaing
dengan yang lainnya. Pada gilirannya mereka akan tersisih dan
berpotensi menjadi mata rantai penyebab gizi buruk generasi berikutnya.
Masalah
gizi dan kesehatan di masa datang akan semakin kompleks. Dan itu semua
akan menjadi tantangan utama pembangunan bidang kesehatan.
Kompleksitas masalah gizi dan kesehatan tersebut menuntut perhatian
semua pihak khususnya Departemen Kesehatan dalam mengantisipasinya.
Namun demikian, peran wakil rakyat, pemerintah daerah, masyarakat,
perguruan tinggi, dan stake holder lain juga sangat menentukan
keberhasilan dalam menangani masalah gizi dan pembangunan kesehatan di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar