Cerita
ini berangkat dari perjuangan seorang Baba Akong yang secara gigih
melestarikan lingkungan dengan menanam lebih dari 23 hektar bakau.
Semangat menanam pohon bakau ini berawal dari bencana Tsunami yang
terjadi tanggal 12 Desember tahun 1992 di Flores, NTT. Peristiwa itu
menimpa bapak Victor Emanuel Rayon (60), orang tua yang sehari-harian
bekerja sebagai nelayan di teluk Ndete – Magepanda - Sikka. Saat bencana
mahadahsyat itu menggoncang Magepanda, baba Akong, demikian panggilan
akrab untuk bapak Victor Emanuel Rayon, berusaha menyelamatkan diri dan
isterinya serta anak-anaknya. Sesudah bencana mengerikan itu, baba
Akong mengingat kembali sebuah adegan penting. Batu sebesar pondok itu
nyaris menelan nyawanya dan keluarganya. Untung ada sejumlah pohon di
hadapannya yang sanggup menahan batu raksasa itu. Kisah itu mengandung
makna tersendiri bagi baba Akong, orang tua kelahiran Belu-Timor, 27
September 1947. Pohon-pohon yang menyelamatkan mereka dari guliran batu
di saat bencana, memberi pelajaran berarti baginya untuk menanam pohon,
khususnya pohon bakau di pantai Ndete-Magepanda. Saat itu prinsipnya
adalah melindungi nyawa dari terjangan tsunami.
Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut. Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. “Kita tidak tahu, kapan bencana terjadi, entah malam entah siang. Lebih baik kita yang tinggal di pantai ini menanam pohon bakau sebanyak mungkin untuk melindungi diri dari terjangan gelombang pasang dan juga abrasi. Karena itu kita tidak perlu tunggu pemerintah. Saya tidak percaya orang-orang dari pemerintah yang bilang tanam anakan bakau di pasir tidak mungkin bakau itu tumbuh. Saya punya pengalaman dan saya belajar dari pengalaman sesudah bencana ’92. Saya berhasil menanam bakau di lahan yang sebagiannya tanah berpasir,” demikian tegas baba Akong.
Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih. Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau. Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung- burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut.Baba Akong selama lebih dari 10 tahun telah berupaya menanam bakau guna meminimalisir terjadinya abrasi bibir pantai di sekitar kepulauan NTT. Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau. Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.
Ternyata perjuangan Baba Akong tidak berhenti sampai disitu, setelah hutan bakau tersebut ada, banyak pihak yang ingin memperoleh keuntungan dari hutan bakau tersebut dengan cara-cara yang tidak baik(menebangi bakau secara liar, menembaki burung2 yang migrasi ke hutan bakau, dsb) sehingga berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem. Dengan keberaniannya pula, Baba Akong melawan semua ketidakbaikan itu.
Di tengah riuh-rendahnya tingkah laku manusia mengeksploitasi alam, baba Akong justru berusaha melestarikan lingkungan hidup. Belajar dari pengalaman bencana mahadahsyat itu, orang tua yang pernah bekerja sebagai nahkoda Kapal Barang Surabaya – Maumere ini, berhasil merintis hutan bakau di sepanjang pantai Ndete seluas 23 hektare. Ia sendiri mengusahakan pembibitan dan menanam dengan semangat melindungi kehidupan. Ia yakin dengan menanam bakau, persoalan seperti abrasi bisa diatasi. Ia berusaha untuk menjaga kelestarian hutan bakau dengan cara terus menanam dan menanam lagi ratusan ribu anakan bakau pada lahan yang masih kosong. Dengan cara yang telah dirintisnya sejak tahun 1993 yang lalu, hutan bakau di Ndete pun kini berubah menjadi tempat berlindung ribuan burung yang terdiri dari berbagai jenis.
Melalui film dokumenter ini, kita dapat menyaksikan bahwa Baba Akong memang mempunyai pengalaman yang unik. Ketika memulai pekerjaan ini, orang-orang gunung yang tidak tahu-menahu soal bencana yang pernah ia alami, tak hentinya menertawai ia dan pekerjaannya. Suatu hari saat melihat baba Akong sedang bekerja, orang-orang gunung meragukan pekerjaannya yakni menanam anakan bakau di atas tanah berpasir. Lain kali, mereka justeru menganjurkan supaya baba Akong membuka lahan untuk membuat kebun saja, sebab pekerjaannya itu dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia belaka.
Namun bersama keluarganya, ia tetap teguh berpegang pada prisipnya. Bahkan ia sendiri pernah menolak bekerja sama dengan dinas kehutanan yang juga meragukan caranya menanam bakau di tanah berpasir. “Secara alamiah bakau itu tumbuh di darat, bukan di dalam air. Karena itu kita bisa menanam di atas pasir. Yang paling penting adalah ketekunan dan kesediaan kita untuk merawatnya sehingga bisa berkembang baik. Pahon-pohon bakau yang ada di dalam air itu, awalnya di darat, tetapi abrasi menyebabkan pohon-pohon menjadi bagian dari air laut,” kata baba Akong sambil menunjuk serumpun pohon bakau di dalam laut.
Menyimak pengalaman baba Akong dalam film ini, patut diakui, bahwa masyarakat seharusnya menjadi basis penanganan bencana. Pengalaman bencana seharusnya menjadi dasar membangun kembali alam yang kian terkikis oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Bahwa relasi yang tidak seimbang antara manusia dan alam sudah riil menjadi penyebab terjadinya sebagian besar bencana alam di republik ini. Relasi yang tidak seimbang itu menunjukkan dominasi manusia terhadap alam makin tidak terbendung seiring dengan bencana alam yang kian rutin.
Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup atau sesama ciptaan. Sebaliknya alam dipandang lebih sebagai obyek yang dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Bila relasi manusia dengan alam terus berlangsung dalam konteks subyek – obyek seperti ini, maka jangan terkejut bila alam segera memberi ultimatum kiamat dengan petaka banjir, tanah longsor, gempa bumi atau tsunami yang mahadahsyat.
Eksploitasi yang besar-besaran terhadap lingkungan alam telah berakibat pada terganggunya kehidupan ekosistem. Burung-burung serta binatang lainnya, yang sebelumnya memiliki hutan sebagai habitatnya, kini hidup merana. Ada yang bereksodus tetapi yang lain telah punah karena ketiadaan tempat tinggal. Sedangkan mata air berkurang, karena air hujan yang turun ke bumi mengalir di atas permukaan tanah setelah tumbuhan pengisap air hujan ke dalam tanah ditebang habis. Akibatnya struktur tanah bertambah labil karena akar kayu pengikat tanah telah lapuk. Kondisi ini sudah tentu mempermudah terjadinya erosi, banjir, tanah longsor dan bencana kekeringan pun tak terhindarkan.
Kita seharusnya belajar lebih banyak lagi dari bencana alam di tahun-tahun silam dan menjadikannya sebagai basis untuk mengatasi bencana. Sebab tanpa membangun basis seperti ini, kita tak mungkin mengelakkan diri dari bencana yang bisa terjadi setiap saat. Tentang bencana alam tersebut, tak perlu lagi menunggu lebih lama, sebab krisis besar telah dimulai.
Kini baba Akong justru merasa senang karena ia bisa bermitra dengan pemerintah dalam usaha memelihara kelestarian alam khususnya wilayah pantai. Kemitraan dengan pemerintah itu bisa tampak lewat penunjukan dirinya sebagai pemimpin kelompok rehabilitasi Lingkungan Pantai. Baginya, sekalipun pemerintah kerap tidak mendukung secara finansial, ia tetap setia melakukan usaha pembibitan sehingga kelompok yang dipimpinnya tetap langgeng. Sering ia menghabiskan uang pribadi hanya untuk mengontrol dan memberi pelatihan bagi anggotanya yang berjumlah 15 orang. Sayangnya, ia menilai bahwa kelompok lain bekerja dengan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah yang acapkali tidak proaktif.
“Bagi saya, pengalaman bencana merupakan prinsip lingkungan hidup,” demikian baba Akong. Karena berpegang teguh pada prinsip yang demikian itu, ia bekerja dengan sepenuh hati. Ibu Anselina Nona dan keenam anaknya pun turut tak kalah aktif melakukan pembibitan. Ratusan ribu anakan bakau dipesan dari berbagai daerah, termasuk yang berasal dari Mukosaki di wilayah Ende hingga perbatasan Larantuka – Maumere. Baba Akong sendiri mengatakan bahwa di wilayah Flores ini terdapat duabelas jenis bakau, namun hanya dua jenis bakau yang merupakan bibit unggul. Kedua jenis bibit unggul itu adalah Avicennia Marina dan Rhizophora Mucronata. Kedua jenis bibit unggul ini bisa tumbuh di air tawar maupun air laut. Baginya, penanaman bakau di pantai Ndete oleh masyarakat sering gagal bukan karena kondisi alam tidak mendukung, sebaliknya karena masyarakat dan juga pemerintah masih mengutamakan “proyek” (uang).
Setelah menyaksikan film yang sangat menginspirasi tersebut, kita dapat menyimpulkan amanat bahwa dimana saat semua orang tidak pernah berfikir untuk menjaga alam dan lingkungan tempat mereka hidup, saat semua orang hanya bisa merusak tanpa mau menjaga dan memperbaiki, tetapi ada segelintir orang yang ternyata masih peduli. Peduli untuk menyelamatkan alam dan lingkungan dari kerusakan dan kemusnahan, tanpa berfikir untuk mendapat upah atau tanda jasa. Banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi yang mumpuni, acuh terhadap lingkungan dan kelestariannya, tetapi banyak juga orang yang hanya dengan berbekal tekad kuat tanpa dilandasi pendidikan yang layak mampu untuk berbagi teladan kepada semua orang. Begitu malu saya dengan semua itu. Begitu saya merasa belum berperan sedikitpun dalam menjaga bumi dan seisinya.
Akibat tsunami daerah yang ia tinggali dipinggir pantai tepatnya di desa Ndete, Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, NTT ditutupi air laut dan hingga kini desa tersebut ada didasar laut. Kejadian pahit yang membekas tersebut mendorong Baba Akong untuk menanam pohon Bakau di sepanjang pantai di daerahnya. “Kita tidak tahu, kapan bencana terjadi, entah malam entah siang. Lebih baik kita yang tinggal di pantai ini menanam pohon bakau sebanyak mungkin untuk melindungi diri dari terjangan gelombang pasang dan juga abrasi. Karena itu kita tidak perlu tunggu pemerintah. Saya tidak percaya orang-orang dari pemerintah yang bilang tanam anakan bakau di pasir tidak mungkin bakau itu tumbuh. Saya punya pengalaman dan saya belajar dari pengalaman sesudah bencana ’92. Saya berhasil menanam bakau di lahan yang sebagiannya tanah berpasir,” demikian tegas baba Akong.
Hingga kini pohon bakau yang tumbuh mencapai 23 hektar lebih. Kesemua perjuangan itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau siapa saja tetapi pribadinya sendiri yang mana biaya perawatan dan pembibitannya diperoleh melalui menjual ikan. Hasil jualan ikan ia gunakan membeli bibit pohon bakau. Atas kesadaran ini ia menjaga hutan bakau hasil jerih payahnya sendiri, siapa pun tidak boleh menebang pohon bakau bahkan menembak burung- burung yang ada di dalam hutan bakau tersebut.Baba Akong selama lebih dari 10 tahun telah berupaya menanam bakau guna meminimalisir terjadinya abrasi bibir pantai di sekitar kepulauan NTT. Kesadarannya juga membuat dia sempat beradu mulut dan berkelahi dengan tentara Angkatan Laut yang hendak mencuri kayu dalam hutan bakau. Berkat perjuangan tersebut sekarang ia masuk nominasi Perintis lingkungan dalam penghargaan Kalpataru yang diberikan oleh Pemerintah di tahun 2008 ini.
Ternyata perjuangan Baba Akong tidak berhenti sampai disitu, setelah hutan bakau tersebut ada, banyak pihak yang ingin memperoleh keuntungan dari hutan bakau tersebut dengan cara-cara yang tidak baik(menebangi bakau secara liar, menembaki burung2 yang migrasi ke hutan bakau, dsb) sehingga berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem. Dengan keberaniannya pula, Baba Akong melawan semua ketidakbaikan itu.
Di tengah riuh-rendahnya tingkah laku manusia mengeksploitasi alam, baba Akong justru berusaha melestarikan lingkungan hidup. Belajar dari pengalaman bencana mahadahsyat itu, orang tua yang pernah bekerja sebagai nahkoda Kapal Barang Surabaya – Maumere ini, berhasil merintis hutan bakau di sepanjang pantai Ndete seluas 23 hektare. Ia sendiri mengusahakan pembibitan dan menanam dengan semangat melindungi kehidupan. Ia yakin dengan menanam bakau, persoalan seperti abrasi bisa diatasi. Ia berusaha untuk menjaga kelestarian hutan bakau dengan cara terus menanam dan menanam lagi ratusan ribu anakan bakau pada lahan yang masih kosong. Dengan cara yang telah dirintisnya sejak tahun 1993 yang lalu, hutan bakau di Ndete pun kini berubah menjadi tempat berlindung ribuan burung yang terdiri dari berbagai jenis.
Melalui film dokumenter ini, kita dapat menyaksikan bahwa Baba Akong memang mempunyai pengalaman yang unik. Ketika memulai pekerjaan ini, orang-orang gunung yang tidak tahu-menahu soal bencana yang pernah ia alami, tak hentinya menertawai ia dan pekerjaannya. Suatu hari saat melihat baba Akong sedang bekerja, orang-orang gunung meragukan pekerjaannya yakni menanam anakan bakau di atas tanah berpasir. Lain kali, mereka justeru menganjurkan supaya baba Akong membuka lahan untuk membuat kebun saja, sebab pekerjaannya itu dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia belaka.
Namun bersama keluarganya, ia tetap teguh berpegang pada prisipnya. Bahkan ia sendiri pernah menolak bekerja sama dengan dinas kehutanan yang juga meragukan caranya menanam bakau di tanah berpasir. “Secara alamiah bakau itu tumbuh di darat, bukan di dalam air. Karena itu kita bisa menanam di atas pasir. Yang paling penting adalah ketekunan dan kesediaan kita untuk merawatnya sehingga bisa berkembang baik. Pahon-pohon bakau yang ada di dalam air itu, awalnya di darat, tetapi abrasi menyebabkan pohon-pohon menjadi bagian dari air laut,” kata baba Akong sambil menunjuk serumpun pohon bakau di dalam laut.
Menyimak pengalaman baba Akong dalam film ini, patut diakui, bahwa masyarakat seharusnya menjadi basis penanganan bencana. Pengalaman bencana seharusnya menjadi dasar membangun kembali alam yang kian terkikis oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Bahwa relasi yang tidak seimbang antara manusia dan alam sudah riil menjadi penyebab terjadinya sebagian besar bencana alam di republik ini. Relasi yang tidak seimbang itu menunjukkan dominasi manusia terhadap alam makin tidak terbendung seiring dengan bencana alam yang kian rutin.
Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup atau sesama ciptaan. Sebaliknya alam dipandang lebih sebagai obyek yang dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Bila relasi manusia dengan alam terus berlangsung dalam konteks subyek – obyek seperti ini, maka jangan terkejut bila alam segera memberi ultimatum kiamat dengan petaka banjir, tanah longsor, gempa bumi atau tsunami yang mahadahsyat.
Eksploitasi yang besar-besaran terhadap lingkungan alam telah berakibat pada terganggunya kehidupan ekosistem. Burung-burung serta binatang lainnya, yang sebelumnya memiliki hutan sebagai habitatnya, kini hidup merana. Ada yang bereksodus tetapi yang lain telah punah karena ketiadaan tempat tinggal. Sedangkan mata air berkurang, karena air hujan yang turun ke bumi mengalir di atas permukaan tanah setelah tumbuhan pengisap air hujan ke dalam tanah ditebang habis. Akibatnya struktur tanah bertambah labil karena akar kayu pengikat tanah telah lapuk. Kondisi ini sudah tentu mempermudah terjadinya erosi, banjir, tanah longsor dan bencana kekeringan pun tak terhindarkan.
Kita seharusnya belajar lebih banyak lagi dari bencana alam di tahun-tahun silam dan menjadikannya sebagai basis untuk mengatasi bencana. Sebab tanpa membangun basis seperti ini, kita tak mungkin mengelakkan diri dari bencana yang bisa terjadi setiap saat. Tentang bencana alam tersebut, tak perlu lagi menunggu lebih lama, sebab krisis besar telah dimulai.
Kini baba Akong justru merasa senang karena ia bisa bermitra dengan pemerintah dalam usaha memelihara kelestarian alam khususnya wilayah pantai. Kemitraan dengan pemerintah itu bisa tampak lewat penunjukan dirinya sebagai pemimpin kelompok rehabilitasi Lingkungan Pantai. Baginya, sekalipun pemerintah kerap tidak mendukung secara finansial, ia tetap setia melakukan usaha pembibitan sehingga kelompok yang dipimpinnya tetap langgeng. Sering ia menghabiskan uang pribadi hanya untuk mengontrol dan memberi pelatihan bagi anggotanya yang berjumlah 15 orang. Sayangnya, ia menilai bahwa kelompok lain bekerja dengan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah yang acapkali tidak proaktif.
“Bagi saya, pengalaman bencana merupakan prinsip lingkungan hidup,” demikian baba Akong. Karena berpegang teguh pada prinsip yang demikian itu, ia bekerja dengan sepenuh hati. Ibu Anselina Nona dan keenam anaknya pun turut tak kalah aktif melakukan pembibitan. Ratusan ribu anakan bakau dipesan dari berbagai daerah, termasuk yang berasal dari Mukosaki di wilayah Ende hingga perbatasan Larantuka – Maumere. Baba Akong sendiri mengatakan bahwa di wilayah Flores ini terdapat duabelas jenis bakau, namun hanya dua jenis bakau yang merupakan bibit unggul. Kedua jenis bibit unggul itu adalah Avicennia Marina dan Rhizophora Mucronata. Kedua jenis bibit unggul ini bisa tumbuh di air tawar maupun air laut. Baginya, penanaman bakau di pantai Ndete oleh masyarakat sering gagal bukan karena kondisi alam tidak mendukung, sebaliknya karena masyarakat dan juga pemerintah masih mengutamakan “proyek” (uang).
Setelah menyaksikan film yang sangat menginspirasi tersebut, kita dapat menyimpulkan amanat bahwa dimana saat semua orang tidak pernah berfikir untuk menjaga alam dan lingkungan tempat mereka hidup, saat semua orang hanya bisa merusak tanpa mau menjaga dan memperbaiki, tetapi ada segelintir orang yang ternyata masih peduli. Peduli untuk menyelamatkan alam dan lingkungan dari kerusakan dan kemusnahan, tanpa berfikir untuk mendapat upah atau tanda jasa. Banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi yang mumpuni, acuh terhadap lingkungan dan kelestariannya, tetapi banyak juga orang yang hanya dengan berbekal tekad kuat tanpa dilandasi pendidikan yang layak mampu untuk berbagi teladan kepada semua orang. Begitu malu saya dengan semua itu. Begitu saya merasa belum berperan sedikitpun dalam menjaga bumi dan seisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar