Pages

Selasa, 15 Oktober 2013

ANTARA KEPENTINGAN DAN SUARA HATI


 DUA DUNIA

Orang bijak menasihati kita, katanya, “Jagalah mulutmu!” Nasihat atau lebih tepat peringatan ini berhubungan dengan adanya jurang (gap) antara kata dan perbuatan. Itulah sebabnya mengapa kita yang mendengar nasihat ini akan mawas diri, hati-hati dalam tutur kata dan berusaha agar apa yang kita katakan adalah ekspresi dari keyakinan, pengalaman, atau mungkin—khusus bagi yang senang dengan terminologi filsafat—fondamen moral (prinsip ontologis) penjustifikasi tindakan. Henrik Ibsen (1828-1906), seorang dramawan Norwegia pernah mengatakan, “Seribu kata tidak akan meninggalkan kesan begitu mendalam dibandingkan dengan sebuah tindakan.”  Tentu dengan catatan, tindakan yang dapat dijustifikasi secara moral.

ETIKA DAN MORAL

Perhatikan apa yang dikatakan Marzuki Ali, Ketua DPR RI dalam diskusi MODIS Kompasiana hari Sabtu, 26 Februari 2011 dan tanggapan para pembaca Kompas.com. Pada waktu itu, di hadapan para wartawan, salah satu kader Partai Demokrat ini mengatakan, “Siapa pun yang takut kena ombak jangan tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?” Beliau bahkan menyarankan agar warga Mentawai dipindahkan saja supaya bencana serupa tidak lagi terjadi di Mentawai. “Kalau tahu berisiko pindah sajalah,” imbuhnya. “Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan,” sambungnya (tanggal 27 Oktober 2010).
Saya ingin mengajukan catatan kritis: seharusnya ”Marzuki Ali” bisa memilah-milah pemikiran dan melokalisasi apa yang menjadi ranah etiket dan apa yang menjadi wilayah etika (moral politik). Kegagalan para anggota Dewan berkomunikasi secara santun mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai melawan etika (komunikasi). Tetapi kalau prinsip penjustifikasinya adalah “kesopanan”, prinsip ini sendiri lebih condong ke wilayah etiket, jadi mungkin lebih cocok disebut sebagai etiket komunikasi. Sebaliknya, suatu tindakan disebut bermoral atau tidak jika prinsip penjustifikasi tindakan bersifat universalizable alias kedapatdiuniversalkan. Berguru pada om Immanuel Kant, prinsip semacam ini seharusnya bersifat rasional dan imparsial, tidak memihak pada satu puak tertentu. Sementara etiket memilki watak yang tidak stabil, tergantung kebiasaan, latar belakang sosial, dan sebagainya (ingat pribahasa, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”). Begitulah yang terjadi, ketika 500 lebih anggota dewan bersidang dan ada yang berasal dari suku tertentu yang dari “sononya” memang suka teriak-teriak (stereotyping??), ya kebiasaanya dipraktikkan di Senayan, lupa bahwa sopan-santun ikut menentukan akhlak.
terlalu naif mengatakan bahwa pendidikan moral yang komprehensif (dalam pemahaman seorang ”Marzuki Ali” adalah pendidikan etika dan moral berkesinambungan di sekolah, di rumah, dan di masyarakat) adalah kondisi niscaya atau jaminan perilaku bermoral. Distingsi sederhana dalam dunia filsafat mengenai “kondisi yang perlu” (necessary condition) dan “kondisi memadai” (sufficient condition) mengatakan bahwa pendidikan yang integral adalah “kondisi niscaya” bagi perilaku moral. Di sini kita terpaksa sepakat dengan tradisi etika Sokrates yang memegang teguh prinsip, bahwa mengetahui yang baik adalah jaminan seseorang bertindak baik secara moral. Etika abad pertengahan yang peduli pada peranan kehendak (will) dalam perilaku akan mengatakan bahwa mengetahui apa yang baik (melalui pendidikan, misalnya) tidak menjadi jaminan bagi tindakan moral. Semuanya sangat tergantung pada kehendak (will) atau lebih tepatnya “keberanian moral” untuk mengeksekusi pengetahuan menjadi tindakan nyata. Dari sini kita belajar (terima kasih kepada etika abad pertengahan), bahwa pendidikan atau memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk secara moral bukanlah kondisi memadai bagi tindakan bermoral.
Coba kita terapkan pada kasus menurunnya moralitas anggota dewan, misalnya. Dengan tingkat pendidikan yang di atas rata-rata, bisa dipastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang memadai akan yang baik dan buruk secara moral. Mereka sanggup memilah-milah manakah perbuatan yang bermoral dan manakah yang tidak bermoral alias jahat, bejat, terhina secara moral (tidak cukup apakah suatu perbuatan itu sesuai hokum dan undang-undang yang berlaku atau tidak). Meskipun mereka tahu, beberapa dari mereka tidak mempraktikkannya dalam kehidupan (berpolitik). Buktinya masih ada anggota Dewan yang perilakunya dikategorikan tidak bermoral. Sumbangan pemikiran etika abad pertengahan membantu kita menyadari betapa pentingnya kehendak (will) atau keberanian moral itu. Apakah para anggota Dewan terhormat yang “gagal” berperilaku secara moral memiliki kehendak atau keberanian moral yang rendah? Mungkin tidak perlu menghakimi mereka. Yang ingin saya katakana adalah bahwa tidak gampang mematuhi kebenaran moral yang bergemah dalam hati nurani kita. Sebagai manusia lemah, kita bisa saja lalai dan tidak mentaati suara hati kita mengatakan kebaikan kepada kita. Yang jelas, ketika kita gagal, pada waktu itulah kehendak kita terdeteksi lemah.
Catatan saya yang pertama tidak terlalu relevan. Distingsi semacam ini kadang-kadang bermanfaat karena membantu pencerahan budi kita, tetapi kalau pun pada akhirnya kita menyamakan begitu saja etiket dan etika, ya sudahlah. Tidak usah terlalu dipersoalkan. Catatan kedua saya anggap krusial karena membawa sebuah pesan moral yang penting. Saya ingin mengatakan, bahwa baik kalau kita memiliki anggota Dewan yang semuanya bergelar master atau sebagian besarnya bergelar doktor. Tetapi gelar alias pengetahuan yang memampukan subjek memiliki pikiran distingtif tentang mana yang benar dan mana yang salah secara moral tanpa diikuti dengan kehendak (tekad, keberanian moral) untuk mengaplikasikan pengetahuan itu, ya percuma. Saya tidak ingin mengatakan bahwa lebih baik memiliki anggota Dewan yang pendidikannya pas-pasan, karena ini bisa menjadi bumerang atau hambatan. Yang terpenting adalah tekad moral menjalankan apa yang baik dan menghindari apa yang buruk secara moral.

HATI NURANI

kata-kata ''mengikuti hati nurani'' kini telah menjadi merek dagang yang bisa ditafsirkan sesuai dengan kepentingan masing-masing Hati nurani adalah samudera terdalam yang melintasi kendala ruang dan waktu. Di dalam samudera hati nurani, kita bukan lagi makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Di sinilah tempat kita berkomunikasi tanpa suara, tanpa sepatah kata. Kita berbicara dalam keheningan tetapi semuanya dapat dimengerti dengan mudah. Tak ada salah paham, tak ada perselisihan, tak ada perdebatan. Segalanya sederhana dan indah. Percakapan terjadi melampaui batas kata-kata. Bukankah sesuatu yang indah itu tak tak dapat dilukiskan dengan kata- kata?

Hati nurani bukanlah segumpal daging yang berada di rongga dada kita. Ia tak dapat digambarkan karena memang bersifat spiritual. Ia berada jauh di bawah kesadaran kita. Kita tak tahu dimana persisnya ia berada. Kita hanya tahu ''pintu'' yang bisa digunakan untuk menuju kesana. Pintu tersebut berada dalam otak kita.

Walaupun merupakan potensi yang dimiliki semua orang, tak semua orang mampu menemukan hati nurani karena terhalang oleh kepentingan. Bahkan, kalau tidak berhati-hati, bisa-bisa kita menganggap bahwa kepentingan itulah hati nurani kita.
Dunia politik adalah dunia kepentingan. Anda tentu pernah mendengar adagium berikut: ''Tak ada sahabat sejati, tak ada musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.'' Karena itu, demi kepentingan kita bisa mengatakan yang salah itu benar, yang benar itu salah, menutupi fakta, memanipulasi hasil survei, dan sebagainya.

Kepentingan bisa menjadi begitu besar bagi mereka yang berorientasi jangka pendek. Orang-orang seperti ini memandang dunia sebagai satu- satunya tempat memperoleh kenikmatan. Mereka bisa saja bergelar kyai, atau ahli agama. Padahal, mereka sesungguhnya tidak yakin pada kenikmatan yang bisa dicapai secara jangka panjang di alam yang abadi nanti. Karena itu, mereka tidak mau melewatkan kenikmatan jangka pendek. Dengan berfungsinya hati nurani tidaklah berarti bahwa kita tidak memiliki kepentingan sama sekali. Kita tetap memiliki kepentingan. Bedanya, kepentingan itu kini jauh mengecil. Jauh lebih kecil dari diri kita. Bahkan jauh lebih kecil dari hidup itu sendiri.

Tidak ada komentar: