DUA DUNIA
Orang bijak menasihati kita, katanya, “Jagalah mulutmu!” Nasihat atau lebih tepat peringatan ini berhubungan dengan adanya jurang (gap) antara
kata dan perbuatan. Itulah sebabnya mengapa kita yang mendengar nasihat
ini akan mawas diri, hati-hati dalam tutur kata dan berusaha agar apa
yang kita katakan adalah ekspresi dari keyakinan, pengalaman, atau
mungkin—khusus bagi yang senang dengan terminologi filsafat—fondamen
moral (prinsip ontologis) penjustifikasi tindakan. Henrik Ibsen
(1828-1906), seorang dramawan Norwegia pernah mengatakan, “Seribu kata tidak akan meninggalkan kesan begitu mendalam dibandingkan dengan sebuah tindakan.” Tentu dengan catatan, tindakan yang dapat dijustifikasi secara moral.
ETIKA DAN MORAL
Perhatikan
apa yang dikatakan Marzuki Ali, Ketua DPR RI dalam diskusi MODIS
Kompasiana hari Sabtu, 26 Februari 2011 dan tanggapan para pembaca
Kompas.com. Pada waktu itu, di hadapan para wartawan, salah satu kader
Partai Demokrat ini mengatakan, “Siapa pun yang takut kena ombak jangan
tinggal di pinggir pantai. Sekarang kalau tinggal di Mentawai ada
peringatan dini dua jam sebelumnya, sempat nggak meninggalkan pulau?”
Beliau bahkan menyarankan agar warga Mentawai dipindahkan saja supaya bencana serupa tidak lagi terjadi di Mentawai. “Kalau tahu berisiko pindah sajalah,” imbuhnya. “Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan,” sambungnya (tanggal 27 Oktober 2010).
Saya ingin mengajukan catatan kritis: seharusnya ”Marzuki Ali”
bisa memilah-milah pemikiran dan melokalisasi apa yang menjadi ranah
etiket dan apa yang menjadi wilayah etika (moral politik). Kegagalan
para anggota Dewan berkomunikasi secara santun mungkin sebagian orang
menganggapnya sebagai melawan etika (komunikasi). Tetapi kalau prinsip
penjustifikasinya adalah “kesopanan”, prinsip ini sendiri lebih condong
ke wilayah etiket, jadi mungkin lebih cocok disebut sebagai etiket
komunikasi. Sebaliknya, suatu tindakan disebut bermoral atau tidak jika
prinsip penjustifikasi tindakan bersifat universalizable
alias kedapatdiuniversalkan. Berguru pada om Immanuel Kant, prinsip
semacam ini seharusnya bersifat rasional dan imparsial, tidak memihak
pada satu puak tertentu. Sementara etiket memilki watak yang tidak
stabil, tergantung kebiasaan, latar belakang sosial, dan sebagainya
(ingat pribahasa, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”).
Begitulah yang terjadi, ketika 500 lebih anggota dewan bersidang dan
ada yang berasal dari suku tertentu yang dari “sononya” memang suka
teriak-teriak (stereotyping??), ya kebiasaanya dipraktikkan di Senayan, lupa bahwa sopan-santun ikut menentukan akhlak.
terlalu naif mengatakan bahwa pendidikan moral yang komprehensif (dalam pemahaman seorang ”Marzuki Ali”
adalah pendidikan etika dan moral berkesinambungan di sekolah, di
rumah, dan di masyarakat) adalah kondisi niscaya atau jaminan perilaku
bermoral. Distingsi sederhana dalam dunia filsafat mengenai “kondisi yang perlu” (necessary condition) dan “kondisi memadai” (sufficient condition)
mengatakan bahwa pendidikan yang integral adalah “kondisi niscaya” bagi
perilaku moral. Di sini kita terpaksa sepakat dengan tradisi etika
Sokrates yang memegang teguh prinsip, bahwa mengetahui yang baik adalah
jaminan seseorang bertindak baik secara moral. Etika abad pertengahan
yang peduli pada peranan kehendak (will)
dalam perilaku akan mengatakan bahwa mengetahui apa yang baik (melalui
pendidikan, misalnya) tidak menjadi jaminan bagi tindakan moral.
Semuanya sangat tergantung pada kehendak (will) atau lebih tepatnya “keberanian moral” untuk mengeksekusi pengetahuan menjadi tindakan nyata.
Dari sini kita belajar (terima kasih kepada etika abad pertengahan),
bahwa pendidikan atau memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk
secara moral bukanlah kondisi memadai bagi tindakan bermoral.
Coba
kita terapkan pada kasus menurunnya moralitas anggota dewan, misalnya.
Dengan tingkat pendidikan yang di atas rata-rata, bisa dipastikan bahwa
mereka memiliki pengetahuan yang memadai akan yang baik dan buruk secara
moral. Mereka sanggup memilah-milah manakah perbuatan yang bermoral dan
manakah yang tidak bermoral alias jahat, bejat, terhina secara moral
(tidak cukup apakah suatu perbuatan itu sesuai hokum dan undang-undang
yang berlaku atau tidak). Meskipun mereka tahu, beberapa dari mereka
tidak mempraktikkannya dalam kehidupan (berpolitik). Buktinya masih ada
anggota Dewan yang perilakunya dikategorikan tidak bermoral. Sumbangan
pemikiran etika abad pertengahan membantu kita menyadari betapa
pentingnya kehendak (will)
atau keberanian moral itu. Apakah para anggota Dewan terhormat yang
“gagal” berperilaku secara moral memiliki kehendak atau keberanian moral
yang rendah? Mungkin tidak perlu menghakimi mereka. Yang ingin saya
katakana adalah bahwa tidak gampang mematuhi kebenaran moral yang
bergemah dalam hati nurani kita. Sebagai
manusia lemah, kita bisa saja lalai dan tidak mentaati suara hati kita
mengatakan kebaikan kepada kita. Yang jelas, ketika kita gagal, pada
waktu itulah kehendak kita terdeteksi lemah.
Catatan
saya yang pertama tidak terlalu relevan. Distingsi semacam ini
kadang-kadang bermanfaat karena membantu pencerahan budi kita, tetapi
kalau pun pada akhirnya kita menyamakan begitu saja etiket dan etika, ya
sudahlah. Tidak usah terlalu dipersoalkan. Catatan kedua saya anggap
krusial karena membawa sebuah pesan moral yang penting. Saya ingin
mengatakan, bahwa baik kalau kita memiliki anggota Dewan yang semuanya
bergelar master atau sebagian besarnya bergelar doktor. Tetapi gelar
alias pengetahuan yang memampukan subjek memiliki pikiran distingtif
tentang mana yang benar dan mana yang salah secara moral tanpa diikuti
dengan kehendak (tekad, keberanian moral) untuk mengaplikasikan
pengetahuan itu, ya percuma. Saya tidak ingin mengatakan bahwa lebih
baik memiliki anggota Dewan yang pendidikannya pas-pasan, karena ini
bisa menjadi bumerang atau hambatan. Yang terpenting adalah tekad moral
menjalankan apa yang baik dan menghindari apa yang buruk secara moral.
HATI NURANI
kata-kata
''mengikuti hati nurani'' kini telah menjadi merek dagang yang bisa
ditafsirkan sesuai dengan kepentingan masing-masing Hati nurani adalah
samudera terdalam yang melintasi kendala ruang dan waktu. Di dalam
samudera hati nurani, kita bukan lagi makhluk fisik tetapi makhluk
spiritual. Di sinilah tempat kita berkomunikasi tanpa suara, tanpa
sepatah kata. Kita berbicara dalam keheningan tetapi semuanya dapat
dimengerti dengan mudah. Tak ada salah paham, tak ada perselisihan, tak
ada perdebatan. Segalanya sederhana dan indah. Percakapan terjadi
melampaui batas kata-kata. Bukankah sesuatu yang indah itu tak tak dapat
dilukiskan dengan kata- kata?
Hati nurani bukanlah segumpal daging yang berada di rongga dada kita. Ia tak dapat digambarkan karena memang bersifat spiritual. Ia berada jauh di bawah kesadaran kita. Kita tak tahu dimana persisnya ia berada. Kita hanya tahu ''pintu'' yang bisa digunakan untuk menuju kesana. Pintu tersebut berada dalam otak kita.
Walaupun merupakan potensi yang dimiliki semua orang, tak semua orang mampu menemukan hati nurani karena terhalang oleh kepentingan. Bahkan, kalau tidak berhati-hati, bisa-bisa kita menganggap bahwa kepentingan itulah hati nurani kita. Dunia politik adalah dunia kepentingan. Anda tentu pernah mendengar adagium berikut: ''Tak ada sahabat sejati, tak ada musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.'' Karena itu, demi kepentingan kita bisa mengatakan yang salah itu benar, yang benar itu salah, menutupi fakta, memanipulasi hasil survei, dan sebagainya.
Kepentingan bisa menjadi begitu besar bagi mereka yang berorientasi jangka pendek. Orang-orang seperti ini memandang dunia sebagai satu- satunya tempat memperoleh kenikmatan. Mereka bisa saja bergelar kyai, atau ahli agama. Padahal, mereka sesungguhnya tidak yakin pada kenikmatan yang bisa dicapai secara jangka panjang di alam yang abadi nanti. Karena itu, mereka tidak mau melewatkan kenikmatan jangka pendek. Dengan berfungsinya hati nurani tidaklah berarti bahwa kita tidak memiliki kepentingan sama sekali. Kita tetap memiliki kepentingan. Bedanya, kepentingan itu kini jauh mengecil. Jauh lebih kecil dari diri kita. Bahkan jauh lebih kecil dari hidup itu sendiri.
Hati nurani bukanlah segumpal daging yang berada di rongga dada kita. Ia tak dapat digambarkan karena memang bersifat spiritual. Ia berada jauh di bawah kesadaran kita. Kita tak tahu dimana persisnya ia berada. Kita hanya tahu ''pintu'' yang bisa digunakan untuk menuju kesana. Pintu tersebut berada dalam otak kita.
Walaupun merupakan potensi yang dimiliki semua orang, tak semua orang mampu menemukan hati nurani karena terhalang oleh kepentingan. Bahkan, kalau tidak berhati-hati, bisa-bisa kita menganggap bahwa kepentingan itulah hati nurani kita. Dunia politik adalah dunia kepentingan. Anda tentu pernah mendengar adagium berikut: ''Tak ada sahabat sejati, tak ada musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.'' Karena itu, demi kepentingan kita bisa mengatakan yang salah itu benar, yang benar itu salah, menutupi fakta, memanipulasi hasil survei, dan sebagainya.
Kepentingan bisa menjadi begitu besar bagi mereka yang berorientasi jangka pendek. Orang-orang seperti ini memandang dunia sebagai satu- satunya tempat memperoleh kenikmatan. Mereka bisa saja bergelar kyai, atau ahli agama. Padahal, mereka sesungguhnya tidak yakin pada kenikmatan yang bisa dicapai secara jangka panjang di alam yang abadi nanti. Karena itu, mereka tidak mau melewatkan kenikmatan jangka pendek. Dengan berfungsinya hati nurani tidaklah berarti bahwa kita tidak memiliki kepentingan sama sekali. Kita tetap memiliki kepentingan. Bedanya, kepentingan itu kini jauh mengecil. Jauh lebih kecil dari diri kita. Bahkan jauh lebih kecil dari hidup itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar