Infrastruktur sangat diperlukan untuk mendukung kemakmuran suatu wilayah
(daerah atau negara). Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah
(public service obligation). Akan tetapi pemenuhan infrastruktur oleh
pemerintah di mayoritas negara berkembang menghadapi kendala yaitu keterbatasan
dana investasi, lamanya jangka waktu pengembalian investasi, dan biaya yang
tinggi dari manajemen operasional.
Kendala keterbatasan pemerintah dalam pembiayaan investasi dan
operasionalisasi penyelenggaraan infrastruktur dapat diatasi melalui pola yang
melibatkan peran stakeholder, yakni peran
serta sektor swasta (private sector
participation = PSP), kerjasama pemerintah swasta (public private partnership = PPP), serta kerjasama pemerintah,
swasta dan masyarakat (public private
community partnership = PPCP).
Dari tiga pola kerjasama diatas, yang
sering dibahas adalah PPP (public private
partnership) atau dalam bahasa Indonesia disebut KPS (kerjasama pemerintah
swasta). Tujuan tulisan ini adalah mengetahui legalitas pola kerjasama / PPP di
Indonesia; mengetahui bentuk-bentuk PPP; dan mengetahui penerapan
PPP.
1.
KAJIAN PUSTAKA
1.1. Legalitas Kerjasama
Rambu-rambu penyelenggaraan kerjasama dituangkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur juncto
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam pasal 4 Perpres tersebut, jenis
infastruktur yang dapat dikerjasamakan adalah infastruktur transportasi; jalan; pengairan; air minum; air limbah; telekomunikasi
dan informatika; ketenagalistrikan; minyak dan gas bumi.
Badan Usaha yang dimaksud adalah badan usaha berbentuk perseroan
terbatas, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan
koperasi. Selanjutnya proyek kerjasama penyediaan infrastruktur memiliki dua
cara yakni perjanjian kerjasama atau ijin pengusahaan. Perjanjian kerjasama
adalah kesepakatan tertulis antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan
Badan Usaha, ditetapkan melalui pelelangan umum. Sedangkan ijin pengusahaan
adalah ijin yang diberikan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah kepada Badan
Usaha, ditetapkan melalui pelelangan (pasal 1 Perpres 67/2005 juncto
Perpres 13/2010). Dengan demikian dari pasal
ini dapat ditarik tafsiran bahwa pemilihan pola kerjasama (PSP, PPP, PPCP) dan
atau bentuk pola kerjasama (BOT, BTO, dll) diserahkan kepada kesepakatan
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan Badan Usaha.
Sejalan dengan Perpres tersebut untuk melancarkan kerjasama yang
melibatkan swasta, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian pada April 2010
meluncurkan sebuah panduan kerjasama pemerintah dan swasta dengan judul
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), Panduan Bagi Investor Dalam Investasi di
Bidang Infrastruktur.
Menurut panduan tersebut, regulasi
untuk mendukung pelaksanaan PPP/KPS, selain Perpres Nomor 67/2005 juncto Perpres Nomor 13/2010, adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur;
2. Keppres Nomor 81 Tahun 2001 tentang Komite
Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2006
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko Atas
Penyediaan Infrastruktur;
4. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Nomor
4 Tahun 2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infastruktur Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS) yang Memerlukan Dukungan Pemerintah;
5. Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah;
6. Pedoman Umum Regional
Project Development Facility (RPDF) untuk Program Project Development Facility - Infrastucture Reform Sector Development
Project (PDF-IRSDP) tentang Bantuan Teknis Kepada Pemerintah Daerah Untuk
Menyiapkan Proyek KPS, Melaksanakan Pelelangan, dan Negosiasi dengan Investor.
Selanjutnya, regulasi lain yang secara
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pelaksanaan PPP/KPS adalah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah;
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
4. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan Hidup;
5. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum juncto Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
6. Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
Selanjutnya disamping regulasi umum
seperti yang tercantum diatas, juga terdapat regulasi sektoral artinya setiap
sektor infrastruktur mempunyai regulasi tersendiri.
1.2. Public Private
Partnership (PPP)
PPP adalah cara mengkolaborasikan peran untuk memperoleh manfat bersama. Keuntungan
yang dapat diperoleh dari PPP adalah inovasi; kemudahan pembiayaan; ilmu
teknologi; efisiensi; semangat entrepreneurship; yang dikombinasikan dengan
tanggung jawab sosial; kepedulian pada lingkungan; pengetahuan dan budaya
lokal.
Pada dasarnya, PPP memiliki tiga
karakteristik, yaitu memiliki perjanjian kontrak yang menjelaskan peran dan
tanggung jawab masing-masing; menanggung resiko bersama; timbal balik finansial
kepada swasta sepadan dengan pencapaian yang diinginkan pemerintah. Dalam
merancang PPP, sangat penting untuk memperhatikan tujuan bersama, batasan
lingkup hukum / peraturan, kerangka institusi, kebutuhan finansial dan
sumberdaya, serta kepentingan stakeholders.
Permasalahan yang sering timbul dalam
PPP adalah perbedaan budaya organisasi. Setiap organisasi cenderung bertindak,
bekerjasama dengan organisasi lain, sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Pemerintah bertindak sebagai sektor publik dan swasta bertindak sebagai sektor swasta,
meskipun pemerintah dan swasta telah lama bekerjasama. Pemerintah berpikir
bahwa swasta akan mengambil keuntungan dari pemerintah sedangkan swasta
berpikir bahwa pemerintah terlalu banyak pertimbangan dan menghabiskan waktu. Pemecahan
permasalahan tersebut adalah pemerintah dan swasta harus menyadari posisinya
masing-masing, sadar saling mempengaruhi, dan sadar bahwa PPP adalah untuk
memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
Menurut Siregar (2004), persyaratan
pelaksanaan kerjasama antara lain infrastruktur yang dibangun sejalan dengan
tugas pokok, fungsi dan kebutuhan pemerintah; tidak membebani APBD/APBN; harus
dapat dimanfaatkan langsung oleh pemerintah sesuai bidang tugasnya baik masa
pengoperasian maupun saat penyerahan kembali; swasta harus mempunyai kemampuan
keuangan dan keahlian; tanah dan bangunan tetap milik pemerintah; penggunaan
tanah harus sesuai Rencana Umum Tata Ruang Wilayah/Kota (RUTRW/K); penggunausahaan
paling lama 25 tahun sejak masa pengoperasian.
Sedangkan Perpres 67 / 2005 juncto
Perpres 13 / 2010 pasal 7, menyatakan bahwa Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah selaku penanggung jawab proyek kerjasama, harus mempertimbangkan kesesuaian
projek dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional/daerah dan rencana
strategis sektor infrastruktur; kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah; keterkaitan antar sektor infrastruktur dan antar wilayah; analisa
biaya dan manfaat sosial.
1.3. Bentuk-Bentuk PPP
Bentuk-bentuk PPP yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Build,
Operate, Lease-hold and Transfer
(BOLT) yakni pemerintah menyerahkan aset berupa tanah/lahan kepada swasta untuk
dibangun, dikelola (termasuk menyewakan kepada pihak lain) selama waktu
tertentu, kemudian menyerahkan kembali kepada pemerintah setelah habis masa
kontraknya (Noor, 2007).
2. Buid Own
Operate (BOO) yakni pemberian konsesi, investor punya hak
mendapatkan pengembalian investasi, keuntungan yang wajar, sehingga investor
dapat menarik biaya dengan persetujuan pemerintah dari pemakai jasa
infrastruktur yang dibangunnya (Noor, 2007).
3. Build Own
Operate Transfer (BOOT) yaitu
swasta membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola dan
menghimpun pembayaran dari pengguna infrastruktur, dan pada akhir hak guna
pakai, kembali menjadi hak milik pemerintah (Supriyatna, 2010).
4. Build
Operate Transfer (BOT) adalah
pemberian konsesi kepada swasta selama periode tertentu. Swasta membangun,
termasuk pembiayaannya dan mengoperasikan infrastruktur, kemudian diserahkan
kepada pemerintah setelah masa kontrak berakhir (Noor, 2007; Supriyatna, 2010; Siregar,
2004; Suhartono, 2005; Permendagri Nomor 17 / 2007)
5. Build
Rent Transfer (BRT) mirip dengan
BTL, bedanya dalam BRT pihak swasta dapat mengelola dan mengoperasikan
infrastruktur yang telah dibangunnya dengan cara menyewa kepada pemerintah, dan
biaya sewa diperhitungkan dari biaya pembangunan (Noor, 2007).
6. Build
Transfer (BT) yaitu swasta
melaksanakan kegiatan konstruksi dan pembiayaan sesuai waktu yang disepakati
dalam kontrak perjanjian. Setelah konstruksi proyek selesai, swasta menyerahkan
kepada pemerintah. Pemerintah diwajibkan membayar kepada swasta sebesar nilai
investasi yang dikeluarkan ditambah keuntungan wajar (Noor, 2007; Siregar, 2004)
7. Build
Transfer Lease (BTL) yakni swasta
membangun infrastruktur di atas tanah pemerintah. Infrastruktur yang dibangun
menjadi milik pemerintah, swasta punya hak opsi atau pilihan untuk menyewa atau
tidak infrastruktur tersebut (Noor, 2007).
8. Build
Transfer Operate (BTO) adalah
swasta membangun proyek infrastruktur, termasuk pembiayaannya dan bila telah
selesai infrastruktur tersebut diserahkan penguasaan dan kepemilikannya kepada
pemerintah, pembayaran pendanaan ditetapkan dalam jangka waktu tertentu (Noor,
2007) dan swasta menyewanya dalam kontrak sewa jangka panjang (Supriyatna, 2010;
Siregar, 2004; Permendagri Nomor 17 / 2007)
9. Contract,
Add and Operate (CAO) adalah pemerintah
bekerjasama dengan swasta untuk membangun infrastruktur. Nilai dan sewa
infrastruktur tersebut dihitung dan ditetapkan secara berkala (Noor, 2007).
10. Design
Build (DB) yakni kontrak
pemerintah dan swasta untuk mendesain dan membangun infrastruktur sesuai
standar kinerja yang dibutuhkan pemerintah, setelah dibangun menjadi milik
pemerintah, selanjutnya pemerintah bertanggung jawab mengoperasikan
infrastruktur tersebut (Supriyatna, 2010).
11. Design Build Operate (DBO) yaitu kontrak pemerintah dan swasta untuk
mendesain dan membangun infrastruktur sesuai standar kinerja yang dibutuhkan
pemerintah, setelah dibangun kemudian dioperasikan swasta. Apabila masa kontrak
selesai, aset dikembalikan ke pemerintah.
12. Delegated
Management Contract (DMC) adalah kontrak penugasan untuk mengurus
manajemen.
13. Management Contract (MC) adalah swasta mengelola infrastruktur milik pemerintah, yang
dikontrakkan adalah jabatan dalam organisasi / manajemen saja (Bastian, 2001).
14. Concession
Contract (CC) adalah swasta
menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem infrastruktur
tertentu, termasuk pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas serta pemberian
layanan kepada masyarakat dan penyediaan modal kerjanya (Bastian, 2001).
15. Lease
Contract (LC) yakni swasta
menyewakan ke pemerintah infrastruktur dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian
dioperasikan dan dipelihara. Swasta menyediakan modal kerja untuk pengoperasian
dan pemeliharaan yang dimaksud, termasuk penggantian bagian-bagian tertentu (Bastian,
2001).
16. Kerjasama Operasi (KSO) = pemerintah menyediakan
aset dan swasta menanamkan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha,
selanjutnya kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola
manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan besarnya sharing masing-masing (Siregar, 2004)
17. Lease
Develop Operate or Buy Develop Operate (LDO/BDO) : swasta menyewa dan/atau membeli fasilitas dari pemerintah,
melakukan ekspansi, modernisasi kemudian mengoperasikannya berdasarkan kontrak.
Swasta berharap dengan melakukan investasi akan mendapat pengembalian investasi
dan keuntungan wajar (Supriyatna, 2010).
18. Lease –
Purchase (LP) : kontrak dengan
swasta untuk melakukan desain, pembiayaan, dan pembangunan fasilitas layanan
publik milik pemerintah. Swasta kemudian menyewanya kepada pemerintah
(Supriyatna, 2010).
19. Operation
Maintenance (OM) : kontrak
pemerintah dan swasta untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas layanan
publik (Supriyatna, 2010).
20. Service
Contract (SC) : swasta diberi
tanggung jawab melaksanakan pelayanan jasa untuk suatu jenis pelayanan tertentu
dalam jangka waktu tertentu (Bastian, 2001; Suhartono, 2005)
21. Turnkey
Operation (TO) : pemerintah
mendanai proyek, sementara swasta melakukan desain, konstruksi, dan operasi
fasilitas publik untuk jangka waktu tertentu. Persyaratan standar dan unjuk kinerja
ditentukan oleh pemerintah sekaligus pemilik fasilitas tersebut (Supriyatna,
2010).
22. Temporary
Privatization (TP) : swasta
memperbaiki / melengkapi / mengembangkan / mengoperasikan untuk periode waktu tertentu tanpa campur tangan
pemerintah (Supriyatna, 2010).
23. Warp
Arround Addition (WAA) : Swasta
membiayai dan melaksanakan pembangunan suatu pekerjaan tambahan dan dapat
mengoperasikannya untuk waktu tertentu dalam rangka pengembalian investasi
(Supriyatna, 2010).
24. Joint
Venture : tanggung jawab dan kepemilikan
ditanggung bersama, mempunyai posisi seimbang, bertujuan memadukan keunggulan swasta
seperti modal, teknologi, manajemen dan keunggulan pemerintah, yakni otoritas
dan kepercayaan masyarakat (Suhartono, 2005)
Selanjutnya bentuk PPP diatas dapat dikelompokan berdasarkan asal dana
investasi, asal modal kerja, kebutuhan modal swasta, risiko finansial swasta,
jangka waktu, kepemilikan aset, kewenangan manajemen dan tujuan utama
kerjasama.
2.
METODOLOGI
PENULISAN
Metodologi penulisan adalah sebagai
berikutt : mencari bahan dari sumber referensi; mempelajari bahan yang didapat;
menemukan substansi yang diharapkan dari bahan; menuliskan alur pemikiran
dikaitkan dengan substansi yang didapat dengan cara mengutip atau mengolah
substansi; mengkombinasikan satu substansi dengan substansi yang lain;
menganalisis semua substansi yang didapat, membuat tafsiran dan kesimpulan
serta memberikan saran.
3.
ANALISIS PENERAPAN PPP
Penerapan PPP mengalami dinamika, dipengaruhi
pihak pemerintah maupun swasta, dipengaruhi perkembangan negara, terutama
negara berkembang. PPP dapat diterapkan di pusat maupun di daerah; dilakukan
untuk berbagai infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat; namun dari aspek
legalitas terdapat jenis infrastruktur yang tidak tercakup dalam Perpres
67/2005 juncto Perpres 13/2010 pasal
4, seperti pembangunan mall, renovasi dan pengelolaan pasar.
Bagi pemerintah daerah yang
melaksanakan PPP di luar bidang infrastruktur yang tercantum dalam Perpres
tersebut, secara legal dilindungi oleh Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 32 yang menyatakan bahwa
bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik daerah berupa sewa; pinjam pakai;
kerjasama pemanfaatan; bangun guna serah (BOT) dan bangun serah guna (BTO).
Contoh PPP yang berhasil adalah Projek Jalan Tol Thailand
Tahap Kedua (Handley, 1997) yakni projek jalan tol dalam kota sepanjang 32
kilometer, masa konsesi 30 tahun, diberikan pada perusahaan kontruksi dari
Jepang, pada tahun 1988. Bangkok
Expressway Company Ltd. (BECL) memulai dan mengakhiri projek ini dengan sukses,
masalah mendasar tidak diabaikan, elemen sukses tidak diperdebatkan. Kontrak
konsesi yang detail dengan lembaga milik pemerintah, The Expressway and Rapid Transit Agency of Thailand (ETA), secara
eksplisit mendeklarasikan prinsip-prinsip dari sponsor yang membiayai
pembangunan jalan tol dan memperoleh pendapatan dari tarif yang dikenakan bagi
pengguna jalan tol.
Proses lelang dengan tujuan dan dukungan yang jelas untuk
pelaksanaan BOT, hanya membutuhkan 12 bulan hingga dicapai kontrak konsesi. Tahun
1993, BECL menyelesaikan bagian utama jalan tol sesuai jadwal, dan ketika
proyek dibuka, pendapatan mengalir dari pengguna melebihi proyeksi yang dibuat di
awal projek. Perusahaan membuktikan bahwa swasta dapat melampaui pemerintah
(ETA) dalam waktu kontruksi dan biaya tanpa membebani keuangan pemerintah. Tahun
1995, BECL masuk bursa saham Thailand.
Contoh BOT yang tidak berhasil adalah
Pembangkit Listrik Paiton di Indonesia (Handley, 1997). Kurangnya konsensus
menyebabkan projek ini tidak berlanjut. PLN secara finansial tidak independen untuk
memperluas kapasitas pembangkit listrik atau memperkuat jaringan distribusi. Pembangkit listrik milik swasta
memperburuk permasalahan. PLN dipaksa membeli listrik dari Paiton sebesar 5-10
persen lebih tinggi daripada pembangkit listrik sendiri. Sebagai akibatnya,
pemerintah melalui PLN harus mensubsidi Paiton, yang berarti mengesampingkan
tujuan utama proses BOT.
Sementara itu listrik yang
diterima PLN dari perusahaan swasta tidak seluruhnya dapat dijual karena
kesulitan dalam jaringan distribusi. Akhirnya, April 1995 saat Paiton
menandatangai paket pendanaan dari bank, PLN secara sepihak mengumumkan
pembatalan persetujuan pembayaran listrik dengan perusahaan konsesi, berarti
secara efektif menghapuskan seluruh persetujuan.
Harga jual listrik dari Projek Paiton sangat
tinggi, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk fokus memperoleh
suplai listrik yang paling murah dan paling efisien. Selain itu, Projek Paiton
dikacaukan oleh beberapa hal misalnya diharuskan membangun infrastruktur
tambahan, menggunakan kontraktor tertentu dan membeli peralatan dari perusahaan
yang telah disodorkan, sehingga tidak efisien dan menaikkan biaya. Hal ini menyebabkan proses negosiasi
konsesi dan pembiayaan menjadi lebih sulit. Hasilnya adalah projek yang
seharusnya layak secara komersil, berdasar prinsip BOT, tetapi justru harga
listrik mempunyai harga yang tinggi sehingga tidak kompetitif.
Selanjutnya, keberhasilan PPP
tidak dapat dikaitkan dengan skala proyek. Sebagai ilustrasi, jalan tol di Bangkok
/ Jakarta yang skala proyeknya besar, berhasil dalam pola kerjasama PPP ini,
sementara Kebon Bibit di Surabaya dengan skala proyek kecil justru tidak
berhasil malah menjadi masalah.
Mengutip analisis Handley (1997), kegagalan PPP / KPS disebabkan oleh kurangnya
konsensus di pihak pemerintah dan masyarakat atas andil pihak swasta pada umumnya
atau projek pada khususnya; ketidakmampuan pemerintah untuk tetap fokus pada
tujuan dasarnya atas andil pihak swasta; kecenderungan pemerintah untuk membuat
persetujuan dengan pihak swasta/sponsor tanpa studi yang mendalam atau
transparan, proses lelang yang tidak kompetitif; keinginan pemerintah untuk menyerap biaya dan
risiko yang seharusnya ditanggung oleh sektor privat/sponsor.
4.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Aspek legal pola kerjasama / PPP / KPS
cukup memadai. PPP/KPS mempunyai bermacam
bentuk, misalnya BOT, BTO, BOO, BOLT, dan sebagainya. Dari bentuk tadi, dapat dikelompokkan berdasarkan asal
dana investasi, asal modal kerja, kebutuhan modal swasta, risiko finansial
swasta, jangka waktu, kepemilikan aset, kewenangan manajemen dan tujuan utama
kerjasama.
Penerapan PPP/KPS ada yang berhasil
tapi terdapat pula yang gagal. Keberhasilan dan kegagalan PPP tidak terkait
dengan skala proyek. Kegagalan PPP/KPS disebabkan oleh kurangnya konsensus
pemerintah dan masyarakat atas andil swasta; ketidakmampuan pemerintah untuk
fokus pada tujuan mendasar andil swasta; pemerintah cenderung membuat persetujuan
dengan swasta tanpa studi mendalam / transparan, lelang tidak kompetitif; serta
pemerintah menyerap biaya/risiko yang seharusnya ditanggung swasta.
4.2. Saran
Regulasi yang ada perlu dilengkapi regulasi
syarat investor untuk PPP/KPS, supaya investor yang mengikuti pelelangan
benar-benar memenuhi persyaratan kemampuan teknis dan keuangannya. Sedangkan
regulasi pembebasan tanah bagi kepentingan umum perlu ditingkatkan dari
Peraturan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang, supaya
kekuatan hukumnya lebih kuat.
Perjanjian kontrak dalam PPP/KPS harus
menguraikan peran dan tanggung jawab masing-masing secara detail, untuk menghindari
perselisihan. Selain itu perjanjian tadi harus memperhatikan tujuan bersama,
batasan lingkup hukum / peraturan, kerangka institusi, kebutuhan finansial dan
sumberdaya, serta kepentingan stakeholders.
DAFTAR PUSTAKA
Asian
Development Bank (2008), Public Private Partnership Handbook, Manila.
Bastian, I. (2001), Akuntansi Sektor Publik Indonesia, BPFE,
Yogyakarta.
Handley, Paul, (1997), “A Critical
View Of The Build-Operate-Transfer Privatisation Process In Asia”, in Asian Journal Of Public Administration, Volume 19, Nomor 2, Bangkok, hal.203-243.
Kintanar, N.E.B., Baclagon, M.L.S.,
Azanza, R.T., Jr. And Alzate, R.P. (2003), “Locking Private Sector Participation
Into Infrastructure Development in The Philippines”,
Transport and Communication Bulletin For Asia and The Pasific, No.72, Hal. 37-55.
Kurdi, M.Y. (2004), Pengembangan Kemitraan Pemerintah dan Swasta
Dalam Bidang Infrastruktur, www.
diskimrum.jabarprov.go.id
Levy, S. M, (1996), Build Operate Transfer,
Paving The Way For Tomorrow’s Infrastructure, John Wiley & Sons, New York.
Noor, H. F. (2007), Ekonomi Manajerial, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta
Pemerintah
Republik Indonesia (2005), Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, Pemerintah
Republik Indonesia, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia (2007),
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun
2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara, Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia (2009), Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah,
Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Pemerintah
Republik Indonesia (2010), Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, Pemerintah Republik Indonesia,
Jakarta
Pemerintah Republik Indonesia (2010), Kerjasama Pemerintah dan
Swasta, Panduan Bagi Investor Dalam Investasi Bidang Infrastruktur,
Pemerintah Republik Indonesia/Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia, Jakarta.
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur
III, Lembaga Administrasi Negara (2008), Kajian
Pola Kemitraan Pemerintah Kota dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah di
Kalimantan, Handout, Samarinda
Siregar, D. D. (2004) Manajemen Aset, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suhartono, Ehrmann (2005), Model-model Public Private Partnership Pada
Sektor Pelayanan Air Bersih, Jurnal Akutansi & Bisnis, Vol 5 No 1
Februari 2005, Hal 72-81
Supriyatna, Y (2010), Public Private Partnership Alternatif
Pendekatan dalam Penyelenggaraan Public Services, Handout : Kuliah Tamu
Manajemen Aset, ITS, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar