Pages

Selasa, 15 Oktober 2013

GLOBAL WARMING DAMPAK TEKNOLOGI GLOBALISASI DAN TANTANGAN BAGI GEREJA MASA KINI



"Mengapa hari ini terasa begitu panas?” Kita sering mendengar pernyataan serupa di sekitar kita atau pun dari diri kita sendiri. Data menunjukkan planet bumi mengalami peningkatan suhu dari tahun ke tahun. Selain makin panasnya cuaca, makin banyaknya fenomena alam yang semakin tidak terkendali belakangan ini. Mulai dari banjir, puting beliung, semburan gas, hingga curah hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun. Pemanasan global menjadi isu yang paling hangat dibicarakan di seluruh dunia dan mendapat perhatian tak hanya dari kalangan aktivis lingkungan, tapi juga pemerintah dan industri dan di semua kalangan..
Dalam penelitian Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC), sebuah lembaga internasional beranggotakan lebih dari 100 negara yang diprakarsai PBB, pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan suhu di dunia sekitar 0,6 hingga 0,7 derajat dan di Asia 10 derajat. Hal ini berdampak pada melelehnya Gleser (Gunung Es) di Himalaya dan Kutub Selatan serta berkurangnya ketersediaan air di daerah-daerah tropis sebanyak 20% hingga 30%. Melelehnya Gleser di Himalaya dan Kutub Selatan sendiri berdampak secara langsung pada peningkatan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Jika hal ini terus menerus dibiarkan maka pada tahun 2012 air laut akan mengalami kenaikan lagi sekitar 7 meter. Dengan begitu otomatis ekosistem dan kehidupan di daerah pesisir dan kepulauan akan terancam punah.  
Penyebab terjadinya pemanasan global
Josef Leitmann, Koordinator Lingkungan Bank Dunia untuk Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali pada tanggal 3 - 14 Desember 2007 mengutarakan, di Indonesia 84% dari semua emisi karbon berasal dari pembalakan hutan, menyumbang 18% terhadap emisi gas rumah kaca global, alih guna lahan, kebakaran hutan, dan degradasi lahan gambut. Karenanya, Indonesia menjadi negara nomor satu di dunia sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar.
Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu keseimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. Variasi dari Matahari yang diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer.

Laporan PBB tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia serta gas rumah kaca berasal dari penggunaan listrik.
Departemen Sains Geofisika (Department of Geophysical Sciences) Universitas Chicago, menyingkap bahwa jika diet beralih ke diet tumbuh-tumbuhan, maka akan dapat  mencegah satu setengah ton emisi gas rumah kaca ektra per orang per tahun.

Dampak pemanasan global
Pemanasan Global berdampak pada terus mencairnya es di daerah kutub utara dan kutub selatan. Es di Greenland telah mencair hampir mencapai 19 juta ton! Dan volume es di Artik pada musim panas 2007  tinggal setengah dari yang ada 4 tahun sebelumnya. Pada tanggal 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es berbentuk lempengan besar yang disebut Wilkins Ice Shelf seluas 414 kilometer persegi di Antartika runtuh. Menurut peneliti NSIDC Ted Scambos, bongkahan es yang mengambang permanen di sekitar 1.609 kilometer selatan Amerika Selatan, barat daya Semenanjung Antartika setelah adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal 12.950 kilometer persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang berdekatan dan menghubungkan dua pulau. Hal ini berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.
NASA menyatakan bahwa pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi. Curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.
Pemanasan Global mengakibatkan gelombang panas menjadi semakin sering terjadi dan semakin kuat. Tahun 2007, daerah St. George, Utah memegang rekor tertinggi dengan suhu tertinggi mencapai 48 o Celcius! (kota Surabaya yang terkenal panas ‘hanya’ berkisar di antara 30o-37o Celcius). Las Vegas dan Nevada yang mencapai 47o Celcius, serta beberapa kota lain di Amerika Serikat yang rata-rata suhunya di atas 40o Celcius. Serangan gelombang panas memaksa pemerintah di beberapa negara bagian untuk mendeklarasikan status darurat siaga I. Serangan itu memakan beberapa korban meninggal (karena kepanasan), mematikan ratusan ikan air tawar, merusak hasil pertanian, memicu kebakaran hutan yang hebat, serta membunuh hewan-hewan ternak. Pada tahun 2003, daerah Eropa Selatan juga pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Perancis (14.802 jiwa). Korban jiwa lainnya tersebar mulai dari Inggris, Italia, Portugal, Spanyol, dan negara- negara Eropa lainnya.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perubahan ekosistem yang ekstrim ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Apa yang harus kita lakukan? Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara menanam pohon lebih banyak lagi sebab dapat menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Tanaman akan kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan. Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk membuat suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca.
foto berita artikelDalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bali pada tanggal 3 - 14 Desember 2007 yang diikuti oleh delegasi dari 190 negara menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya. KTT Iklim di Bali mengawali global momentum dalam menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.
Mengapa sebagai orang Kristen harus memperhatikan dan terlibat dalam masalah ini? Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1Januari 1990) menegaskan bahwa “setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka” (no.15). Allah sang pemilik dunia mendesak kita untuk memperhatikan keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik antara manusia dengan bumi. Sekarang ciptaan diakui sebagai satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah. Gereja dan kelompok antar-agama tentang perubahan iklim telah lama terlibat. Dalam atmosfer ekumenis, kita harus merangkul sesama Kristen seperti juga non-Kristen untuk bekerja demi hal tersebut. Tugas kita sebagai manusia religius adalah mengkontemplasikan keindahan dan kehadiran Allah dalam segala sesuatu. Kontemplasi tersebut dapat membimbing kita kepada metanoia, pertobatan hati,yang merupakan tempat yang bagus bagi kita semua untuk mulai menanggapi krisis planet kita, krisis rumah kita, ciptaan Allah, ketika memasuki milenium baru ini.
Kita membutuhkan suatu model sikap untuk melihat dunia secara berbeda. Lepas dari perubahan-perubahan yang ada, kita dapat mulai dari gaya hidup kita sebagai landasan, hal ini penting karena kita bekerja demi mengubah kebijaksanaan pada level internasional dan nasional. Hal tersebut mencakup pangggilan kepada pertobatan ekologis ( Yohanes Paulus II, 17 Januari 2001), memperdalam pemahaman kita akan perubahan iklim dan masalah-masalah ekologis.

Tidak ada komentar: