Sebelum datang kejepun, saya pernah mendengar tentang kesetiaan seekor hewan di japan yang setia kepada perawatnya. Yang saya tahu saat itu hanya sebuah nama, yakni HACHI-KO. Setelah datang kejepun saya cari tahu tentang kebenaran kisah ini. Bahkan sebuah film lama di tahun 1987 dan tahun 2004 tentang Hachi-ko muncul. Bukan hanya documenter tentang hachiko yang saya dapatkan, tetapi juga monumen serta musium dengan nama hachi-ko pun saya lihat.
Bermula dari kelahiran seekor anjing berjenis AKITA, di sebuah desa bernama ODATE provinsi AKITA sekitar bulan november 1923. Waktu anjing akita ini berumur 2 bulan, dia di bawa ke tokyo oleh pemiliknya sekaligus sahabat sejatinya Prof.Eisaburo Ueno. Sang profesor bekerja di Universitas Tokyo di departement pertanian [agriculture].
Distrik [desa] dibagian kota tokyo, SHIBUYA dimana mereka berdua menempati kisah persahabatan abadi ini. Prof.Ueno suka memangggil anjing Akita-nya dengan sebutan HACHI yang berarti delapan. Ko yang ada di belakang nama HACHI-KO adalah nama tambahan untuk orang jepang yang berarti anak. Dengan demikian Profesor mengakui Hachiko sebagai keluarga dia, serta teman terbaiknya. Hachiko kecil suka makanan YAKITORI [sate ayam].
Selama satu tahun lebih hachiko selalu menunggu kepulangan sang profesor di stasiun Shibuya. Hachiko sudah terbiasa dengan menunggu kepulangan profesor yang bekerja di bagian lain kota tokyo. Hingga tragedi pada 21 mei 1925, profesor ueno terkena stroke di tempat dia bekerja. Profesor meninggal di universitas Tokyo sebelum sempat pulang menemui hachiko.
Kematian Ueno pun membuat hachiko harus diambil alih oleh saudara Ueno. Hachiko hidup dengan saudara Ueno beberapa mil dari stasiun Shibuya, tempat hachiko menunggu kepulangan Ueno.
Suatu hari Hachiko merasa kesepian, dia pergi dari rumah barunya menuju stasiun Shibuya dengan keinginan bertemu sahabat nya, Profesor Ueno. Banyak kisah yang berbeda pada kesetiaan Hachiko menunggu sahabat nya di stasiun Shibuya, aku mengira hachiko menunnggu sahabatnya selama 8 tahun.
Seorang tukang kebun profesor bernama KIKUZABURO KOBAYASHI melihat berhari-hari hachiko yang setia menunggu sahabatnya di satasiun Shibuya serta melihat kesetiaan sekor anjing kepada masternya, merasa kagum. Kikuzaburo selalu memberi makan kepada hachiko sesuai dengan apa yang diberi profesor, yakitori dan stomach.
Tahun 1928, stasiun Shibuya mengalami perombakan total. Disana Hachiko berlarian di setiap fasillitas SHIBUYA baru tetap setia kepada masternya. hachiko tetap menunggu ueno, tidur di salah satu sisi toko didalam stasiun untuk sahabatnya.
Ditahun yang sama, ada seorang peneliti anjing jenis Akita dimana dia adalah salah satu murd UENO. Dia kebetulan melihat pemandangan menarik tentang hachiko, yang juga anjing jenis AKITA. Dia mengamati bagaimana hachiko menunggu masternya di stasiun hingga mengikuti hachiko ke rumah kobayashi. Dari kobayashi, murid Ueno itu mendapat informasi tentang hachiko. Dia pun mulai menulis artikel tentang hachiko.
Berita tentang hachiko pun mulai menyebar di negeri jepang. "Faithful Old Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years" adalah berita yang dimuat di harian ASAHI pada 4 oktober 1933. Hachiko pun semakin tenar dan semakin tersohor hingga pelosok negeri jepang.
Tahun 1934 didirikan patung Hachiko di depan stasiun SHIBUYA. Mengalami perombakan pada tahun 1948 karena perang dunia ke II. Hachiko meninggal pada 8 maret 1935. tetapi hachiko masih setai menunggu Profesor Ueno di pintu keluar stasiun shibuya yang bernama PINTU HACHIKO SHIBUYA, duduk seperti 70 tahun lalu menunggu ueno pulang. Patung Hachiko sendiri kini terdapat 3 buah, satu dishibuya, Akita serta tempat kelahiran hachiko Odeta.
Hachiko menjadi simbol jepang untuk sebuah kesetiaan. Setiap tanggal 8 april tepat di depan musium hachiko selalu diadakan perayaan kepada hachiko. Patung hachiko sendiri yang ada di Shibuya sebagai tempat menunggu yang paling digemari di jepang.
Moyang dari anjing petarung
Moyang HACHI-KO adalah akita matagi yang dipakai untuk matagi (berburu rusa dan beruang). Pada zaman dulu, anjing berukuran besar tidak ada di Jepang. Akita matagi adalah anjing pemburu berukuran sedang untuk berburu beruang.
Pada zaman Edo, klan Satake menguasai Provinsi Dewa bagian timur (wilayah Akita). Sebelumnya klan Satake adalah penguasa Provinsi Hitachi namun wilayah kekuasaannya ditukar dengan Provinsi Dewa setelah berpihak ke Pasukan Barat yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara. Keshogunan Tokugawa memperlakukan klan Satake sebagai tozama daimyo yang kekuatan militernya sangat dibatasi.
Sekitar tahun 1630, klan Satake menganjurkan pengikutnya mengadakan adu anjing sebagai pelampiasan nafsu berperang. Klan Satake berintikan keluarga Satake Timur yang bermarkas di Istana Kubota. Keluarga klan Satake yang lain adalah Keluarga Barat, Keluarga Utara, dan Keluarga Selatan yang masing-masing berkedudukan di Ōtachi, Kakunodate, dan Yuzawa. Keluarga Barat yang berkedudukan di kawasan Ōtachi dikenal sebagai peternak anjing petarung hasil persilangan anjing matagi dan anjing lokal. Anjing yang mereka hasilkan disebut ōtachi-ken (anjing ōtachi).
Hingga zaman Meiji, tradisi adu anjing di Jepang tidak juga hilang. Peternak terus mengawinkan anjing dari lokal dengan anjing impor berukuran besar untuk menghasilkan anjing petarung. Sekitar tahun 1897, peternak anjing di Prefektur Akita mendatangkan Tosa Inu dari Prefektur Kochi yang dikenal sebagai anjing petarung. Tosa Inu disilangkan dengan anjing impor dari Barat sehingga tubuhnya semakin bertambah besar. Seusai Perang Sino-Jepang Pertama, orang Jepang yang pergi Sakhalin membawa pulang Sakhalin Husky dan Hokkaido Inu.
Di Prefektur Akita, moyang HACHI-KO terus disilangkan dengan anjing impor dari Barat, di antaranya diperkirakan dengan Mastiff peliharaan insinyur Jerman di Pertambangan Kosaka. Pada pertengahan zaman Meiji, moyang anjing akita mulai disilangkan dengan Anjing Gembala Jerman dan Great Dane. Tubuh Akita Inu dilahirkan semakin lama semakin besar. Pada waktu itu, telinga tegak dan ekor melengkung yang menjadi ciri khas anjing spitz mulai hilang.
Adu anjing dilarang di Prefektur Akita sejak tahun 1908 karena dianggap merusak masyarakat. Penduduk begitu tenggelam dalam judi adu anjing sehingga pemerintah prefektur melarang adu anjing. Pelarangan adu anjing, sabung ayam, dan adu sapi di seluruh Jepang baru dilakukan Dinas Polisi Kekaisaran Jepang sejak 26 Juli 1916. Setelah adu anjing dilarang, peternak anjing dari Prefektur Akita mengalami masa suram. Anjing impor dari Barat menjadi lebih populer daripada anjing lokal. Berbagai jenis anjing campuran lahir dari persilangan dengan anjing impor dari Barat.
Moyang HACHI-KO adalah akita matagi yang dipakai untuk matagi (berburu rusa dan beruang). Pada zaman dulu, anjing berukuran besar tidak ada di Jepang. Akita matagi adalah anjing pemburu berukuran sedang untuk berburu beruang.
Pada zaman Edo, klan Satake menguasai Provinsi Dewa bagian timur (wilayah Akita). Sebelumnya klan Satake adalah penguasa Provinsi Hitachi namun wilayah kekuasaannya ditukar dengan Provinsi Dewa setelah berpihak ke Pasukan Barat yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara. Keshogunan Tokugawa memperlakukan klan Satake sebagai tozama daimyo yang kekuatan militernya sangat dibatasi.
Sekitar tahun 1630, klan Satake menganjurkan pengikutnya mengadakan adu anjing sebagai pelampiasan nafsu berperang. Klan Satake berintikan keluarga Satake Timur yang bermarkas di Istana Kubota. Keluarga klan Satake yang lain adalah Keluarga Barat, Keluarga Utara, dan Keluarga Selatan yang masing-masing berkedudukan di Ōtachi, Kakunodate, dan Yuzawa. Keluarga Barat yang berkedudukan di kawasan Ōtachi dikenal sebagai peternak anjing petarung hasil persilangan anjing matagi dan anjing lokal. Anjing yang mereka hasilkan disebut ōtachi-ken (anjing ōtachi).
Hingga zaman Meiji, tradisi adu anjing di Jepang tidak juga hilang. Peternak terus mengawinkan anjing dari lokal dengan anjing impor berukuran besar untuk menghasilkan anjing petarung. Sekitar tahun 1897, peternak anjing di Prefektur Akita mendatangkan Tosa Inu dari Prefektur Kochi yang dikenal sebagai anjing petarung. Tosa Inu disilangkan dengan anjing impor dari Barat sehingga tubuhnya semakin bertambah besar. Seusai Perang Sino-Jepang Pertama, orang Jepang yang pergi Sakhalin membawa pulang Sakhalin Husky dan Hokkaido Inu.
Di Prefektur Akita, moyang HACHI-KO terus disilangkan dengan anjing impor dari Barat, di antaranya diperkirakan dengan Mastiff peliharaan insinyur Jerman di Pertambangan Kosaka. Pada pertengahan zaman Meiji, moyang anjing akita mulai disilangkan dengan Anjing Gembala Jerman dan Great Dane. Tubuh Akita Inu dilahirkan semakin lama semakin besar. Pada waktu itu, telinga tegak dan ekor melengkung yang menjadi ciri khas anjing spitz mulai hilang.
Adu anjing dilarang di Prefektur Akita sejak tahun 1908 karena dianggap merusak masyarakat. Penduduk begitu tenggelam dalam judi adu anjing sehingga pemerintah prefektur melarang adu anjing. Pelarangan adu anjing, sabung ayam, dan adu sapi di seluruh Jepang baru dilakukan Dinas Polisi Kekaisaran Jepang sejak 26 Juli 1916. Setelah adu anjing dilarang, peternak anjing dari Prefektur Akita mengalami masa suram. Anjing impor dari Barat menjadi lebih populer daripada anjing lokal. Berbagai jenis anjing campuran lahir dari persilangan dengan anjing impor dari Barat.